Wednesday, June 29, 2011

Wejangan Spiritual

PEMIKIRAN FILOSOFIS AGAMA
IBN TAIMIYYAH
Moh. Faizin Ad Dogglo, S.Sos
(Guru Spiritual PP. Ihyaul Islam Bolo Ujungpangkah Gresik)


Sebuah kehidupan dan aktivitas

Setelah melihat fenomena yang muncul dan perkembangannya pergerakan filsafat dalam  Islam dan kontribusi diciptakan oleh para teolog dan filosof sebelum di pusat kota Baghdad, kita sudah sampai batas inti yang mungkin disebut pre-renaissance periode di dalam sejarah Islam. Dimasa Ibn Taimiyyah, theologi, filosofi, dan jurisprudensi telah membuat kemajuan luar biasa dan menimbulkan aliran pemikiran yang berbeda. Tetapi, sayang, perselisihan politis dan perbedaan doktrin-doktrin melemahkan kesatuan orang-orang Islam dan membuat negara-negara mereka mudah dimangsa oleh invasi bangsa Mongol pada abad ketigabelas / yang ketujuh. Pada kondisi kritis tersebut Imam Ibn Taimiyyah sebagai mujtahid ( salah satu kualifikasi untuk membentuk suatu opini independen dalam Hukum orang Islam) dan disebut orang yang kembali kepada ajaran Islam original sebagaimana adanya dalam  Qur’an dan Sunnah Nabi. Perhatiannya sedikit sekali dalam theologi ( kalam) atau filosofi, dan ia tidak bisa disebut ahli theologi atau ahli filsafat dalam pengertian terminologi yang benar, meskipun demikian dia sendiri bertindak sebagai seorang teolog agung dan filosof agung. Keunggulan Imam Ibn Taimiyyah sebagai seorang pemikir orisinil dan kritikus telah dikenal luas, dan ia biasanya dianggap sebagai Wahhabism, Sanusism, dan pergerakan perubahan lain serupa di Dunia Islam.
    Taqiuddin Abul Abbas Ahmad Ibn ' Abd al Halim, biasanya dikenal sebagai ibn Taimiyyah, dilahirkan di Harran ( Suatu tempat yang terkenal dengan Aliran Hambali. Di sini tinggal Sabeans dan Ahli filsafat yang memuja gambaran dan badan yang surgawi dibanding nama mereka. Nabi Musa dikirim ke orang-orang ini untuk bimbingan mereka) suatu kota besar dekat Damascus, pada hari Senin, 10 Rabi'ul awal  661/ 22 Januari 1263.
    Sepanjang tahun 667/1269 ketika Ibn Taimiyyah mencapai umur tujuh tahun, Mongol menaklukan kota besar Harran, dan bapaknya ' Abd al-Halim mengungsi ke  Damascus beserta semua anggota keluarganya dan menetap disana. Di sini Ibn Taimiyyah menerima pendidikan sempurna di bawah bapaknya seorang sarjana agung dari aliran Hambali. Ia juga belajar kepada ' Ali ibn ' Abd al-Qowi dan menguasai tatabahasa dari Iman Sibawaihi mengenai bahasa Arab. Ia belajar Hadits dengan lebih dari dua ratus Syekh. Adalah penting yang di antara para guru, yang Ibn Taimiyyah menyebutkan di (dalam) Arba'unnya, adalah empat wanita.
    Sukar untuk dikatakan apakah Ibn Taimiyyah terpengaruhi oleh pendahulunya dalam memperkenalkan sosial dan perubahan religius di dalam masyarakat dan sikapnya yang tidak simpatik terhadap teolog, filosof, dan para Sufi. Dilihat dari aktivitasnya menyatakan bahwa ia mengikuti tiada lain kecuali awal Orang Islam alim ( salaf al-salihun) di dalam perumusan rencana perubahannya. Inilah alasan kenapa pergerakannya disebut Pergerakan Salafi. Dengan semboyan, " kembali kepada Qur'an dan Sunnah dari  Nabi." Ia memprotes dengan gigih melawan terhadap segala rupa inovasi ( bid'ah). dia percaya Islam itu dirusak oleh Sufism, panteisme, teolog ( Kalam), filosof, dan oleh semua kepercayaan bertahyul. Ia mengarah pada membersihkan kebudayaan masyarakat dari praktek penghormatan yang tidak selayaknya di pusara para nabi dan orang suci. Selama korsetnya dan Syria dari 692/1292 sampai 705/1305, Ibn Taimiyyah, oleh karena itu, menulis risalah dan buku melawan terhadap Sufis, Mutakallimun, dan ahli filsafat Aristotelian itu. Adalah sepanjang awal bagian dari periode ini yang  ia secara pribadi mengambil bagian peperangan melawan terhadap Karang gigi dan Nusairis. Di tahun 702/1302, ia mengambil bagian dalam pertempuran Shaghab ( suatu tempat dekat Damascus), di mana ia jumpa khalifah Al-Malik al-Nasir, Muhammad Ibn Qawalun, Mamluk Sultan, dan terkemuka lain, dan menghimbau mereka semua untuk bergabung dengan perang salib. Akhirnya tahun 704/1304, ia memimpin suatu angkatan perang melawan terhadap orang Jabal Khusruwan di Syria dan dapat mengalahkan mereka. Karenanya, Ibn Taimiyyah dapat juga disebut seorang Mujahid ( pejuang demi Islam). Di tahun 705/1305, Ibn Taimiyyah menghadapi kritik dari musuhnya dalam pertemuan-pertemuan terbuka di hadapan Wakil Dari Mamluk Sultan, al-Malik al-Nasir, dan mengalahkan mereka dengan argumentasi yang menyakinkan dan jelas. Ia meneruskan di Cairo dan menghadapi suatu munazarah ( debat sah/tentang undang-undang) di mana sarjana India nama Syekh Aafi al-Din al-Hindi ambil bagian penting. Atas usulnyalah Ibn Taimiyyah dipenjarakan dalam  sel di bawah tanah benteng gunung dengan dua saudara laki-lakinya untuk masa satu tahun setengah. Ia juga menderita hukuman penjara pada tempat berbeda karena Fatwanya dan rasa'il melawan terhadap sosial tertentu dan praktek religius; hal ini menggairahkan perasaan amarah dari  sarjana dimasanya, hingga akhirnya ia dipenjara di benteng Damascus bulan Sha'Ban 726/ Juli 1326. Di sini saudara nya Zain al-Din diijinkan untuk tinggal di dalam penjara yang sama untuk memotivasi. Dalam penjara ini, Ibn Taimiyyah menulis pamflet dan buku yang mempertahankan pandangannya, dan konon yang di sini ia menyiapkan suatu komentar pada Qur'an Yang Kudus dalam empatpuluh volume disebut al- bahr al-Muhit. Sebagian dari buku ini jatuh ke tangan musuhnya dan secara penakut merampas buku, tinta dan pena, sehingga ia menulis dengan arang. Setelah sendirian dalam penjara, telah saatnya ia dipanggil Allah pada hari Senin, 20 Dhulqa'dah 728/27 September 1328.
    Ibn Taimiyyah adalah seorang penulis subur. Tidak ada orang bisa memberi suatu bilangan tentu pekerjaan berpikirnya. Ia meninggalkan buku tidak terhitung, religius decitions, surat, dan catatan, kebanyakan ia menyusun ketika berada di penjara. Al-Dhahabi memberi banyaknya buku Ibn Taimiyyah kira-kira lima ratus.
    dalam Rihlahnya, Ibn Battutah mengatakan bahwa dia sendiri seharusnya ada di Damascus ketika hukuman penjara Ibn Taimiyyah berakhir, dan sultan Al-Malik al-Nasir melepaskan Ibn Taimiyyah setelah menyelesaikan al-Bahr al-Muhit, tetapi pada hari Jumat, ketika ia  sedang menyampaikan khotbah Ju'mat diatas mimbar Masjid Agung, ia mengucapkan kata berikut : Sungguh, Allah turun ke langit yang ada diatas kepala  kita dalam bentuk yang sama seperti aku membuat pendaratan ini," dan ia melangkah selangkah dari mimbar. Ini sangat ditentang oleh seorang Faqih ( ahli hukum), tetapi pendukung Ibn Taimiyyah menyerang faqih dan memukulnya dengan sepatu dan tinju, menyebabkan serbannya jatuh dan terlihat pada kepalanya yang terbuat dari sutera shashia ( kopiah). Orang-Orang yang menolak memakai kopiah yang terbuat dari sutera membawa dia ke rumah Qadi Hanbalite, Izz al-Din ibn Muslim, dan meminta agar dia ditahan dan disiksa. Tetapi Maliki dan Syafi'i menyalahi pertimbangan ini, dan membawa kasus kepada pesan Saif al-Din Tankiz, salah satu  terbaik  dan mulia juga alim dari Damascus, menyampaikan perihal ke al-Malik al-Nasir bersama dengan beban biaya lain untuk melawan terhadap Ibn Taimiyyah, seperti keputusannya ( fatwa) bahwa seorang perempuan yang diceraikan oleh  talak tiga dalam  satu ucapan maka dihukumi hanya talak satu dan yang satu itu mengambil perjalanan kepada pusara dari  Nabi mestinya tidak memendekkan doanya. Sultan, berkeyakinan bahwa sudut pandang Ibn Taimiyyah bertentangan dan memerintahkannya untuk dilemparkan ke dalam sel di bawah tanah lagi. Pemikiran Ibn Taimiyyah tidaklah sukses untuk misinya seumur hidupnya, hal itu terlihat jelas pada pemakamannya bahwa ia mencoba pengaruh agung dalam masyarakat.

Karya-karya Ibnu Taimiyyah

Dalam penolakan terhadap penganut logika dan metafisika aritoteles, ibnu Taimiyyah mempunyai beberapa buku independent, diantaranya :
1.    Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin
2.    Bayan Muwaffiqat Sarih al-Ma’qul li sahih al-manqul
3.    Naqd al-Mantiq
4.    Al-Radd ala Falsafat-i Ibn Rushd dipublikasikan diakhir kitab Fasl al-Maqal dan al-Kashf.
5.    Kitab al-‘aql wa al-Naql.

Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin
    Dalam buku ini Ibn Taimiyyah mengungkapkan, menurut logika aritoteles, pengetahuan dibagi menjadi 2 bagian yakini, berdasarkan konsep (tasawwur) dan keadilan (tasdiq), keduanya baik yang menegahi (nazari)  atau perbandingan (badihi). Jelaslah bahwa semua bentuk ilmu pengetahuan tidak bisa langsung atau jelas dengan sendiri. Sama artinya, semua bentuk ilmu pengetahuan tidak bisa menjadi penengah atau seperti yang diperoleh dari kasus itu, untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagai konsep penengah, seseorang akan tergantung kepada consep penengah yang lain sebagai mata rantai yang tak berujung  (daur) atau lingkaran (tasalsul) keduanya secara logika adalah hal yang tidak mungkin (Impossible). Lebih lanjut  ahli logika berpedoman bahwa rantai consept dan judgment adalah penengah yang memerlukan beberapa alat-alat untuk menjangkaunya, dan oleh karena itu, cara berfikir tersebut yang memungkinkan consepts dicapai, disebut hadd ( definition), dan cara berfikir yang sampai pada judgment disebut silogisme (qiyas). Karenanya hadd dan qiyas adalah dua fundamental dasar yang atasnya keseluruhan struktur  logika Arsitoteles berdiri. Untuk menyangkal logika Aristoteles ibn Taimiyyah mencoba merobohkan fundamental dasar tersebut pada empat poin yang tersusun sebagai empat bab utama dalam kitab radd ‘ala al-Mantiqiyyin :
1)    Konsep yang diinginkan tidak bisa diperoleh kecuali atas pertolongan definisi
2)    Definisi memberikan pengetahuan konsep
3)    Judgment yang diinginkan tidak bisa diperoleh kecuali atas pertolongan silogisme
4)    Proses pemikiran logis atau silogisme memberi pengetahuan judgment.

    Perlu dicatat di sini bahwa dalil tersebut pertama dan ketiga adalah hal negatif, sementara kedua  dan keempat adalah pernyataan. Target utama sangkalan Taimiyyah adalah  " definisi" dan " silogisme" logika Aristoteles.
I.    Pertama dasar dalil ahli logika bahwa konsep tidak bisa diperoleh kecuali dengan bantuan definisi yang telah disangkal oleh Ibn Taimiyyah pada alasan-alasan berikut.
i.    Hal itu dalil negatif dimana para ahli logika belum memberikan bukti apapun. Dalil negatif seperti itu tak bisa sebagai dasar pengetahuan positif. Karena itu, dalil awal logika aristoteles adalah berdasarkan pondasi yang salah. Maka, logika tersebut tak bisa diperlakukan sebagai ilmu pengetahuan, menurut ahli logika, hanya menjaga pemahaman orang dari melakukan kesalahan.
ii.    Ketika definisi menjadi kata penjelas, penjelas akan mengerti penggambaran baik dengan bantuan definisi sebelumnya atau  luar dari beberapa definisi. Sekarang, jika dia mengerti penggambaran definisi sebelumnya, dan kata-katanya dalam definisi kedua akan sebaik kata-katanya dalam definisi yang pertama yang akan mendorong ke suatu mata rantai yang tak berujung (daur) atau lingkaran (tasalsul) dalam proses pemikiran, keduanya adalah imposible. Jika dia mengerti sasaran / objek yang digambarkan tanpa definisi apapun, kemudian pernyataan dalam dalil tersebut bahwa “konsep tidak bisa diperoleh kecuali dengan bantual definisi” posisi tertolak.
iii.    Orang-orang dari  cabang pendidikan dan profesi yang berbeda tahu dengan jelas hubungan mereka tanpa ada kesulitan dalam definisi.
iv.    Belum ditemukan definisi universal yang disetujui. Sebagai contoh, tak seorang pun mampu menawarkan lebih jauh beberapa definisi dua bentuk terkenal "manusia" dan "matahari" yang disetujui. Dalam filsafat, theologi, kedokteran, tata bahasa dll., banyak definisi kontra, dan kemudian turun pada kita. Sekarang, para ahli logika berpedoman bahwa konsep adalah tergantung definisi, tapi tak satupun definisi yang disetujui dibuat, ibn Taimiyyah mendeklarasikan tidak ada consep dalam pengertian sesuai istilah telah dibentuk. Karena itu, ahli logika percaya b ahwa Judgment itu tergantung consep (tasawwur), tapi sejak konsep belum diperoleh (pengertian sesuai  istilah), Judgment juga belum datang. Menurut pendapat ibn Taimiyyah,  hasilnya adalah tipe terburuk kesempurnaan.
v.    Ahli logika bilang konsep intisari (mahiyyah) bisa datang dengan definisi yang terdiri dari jenis (jins) dan differentia (fasl). Ahli logika sendiri telah mengakui kemungkinan adanya definisi singkat namun jarang ditemukan. Tapi Ibn Taimiyyah beropini kebenaran makna sesuatu dapat dicapai manusia tanpa definisi, karena itu consep tidak tergantung pada definisi.
vi.    Terhadap ahli logika, definisi yang benar adalah kombinasi Genus (jins) dan differentia (fasl), tetapi hal tersebut simple dan kesatuan, seperti setiap intelektual (‘uqul), tidak ada definisi; mereka tetap memberi gambaran dan pegangan untuk menjadi sebuah konsep. Ini terlihat kadang kala konsep tidak membutuhkan definisi. Jika ini mungkin, kemudian jenis yang lebih dekat dengan persepsi dan juga terlihat bisa dipahami dengan cara yang lebih menyakinkan dan lebih baik dibandingkan tipe pengetahuan yang diperoleh dari kombinasi genus da diffentia.
vii.    Definisi sesuatu terdiri dari beberapa terminologi masing-masing menandai adanya suatu yang menggambarkan arti. Kecuali jika seseorang tahu terminologi dan maksud mereka sebelum tersampaikan, tidak mungkin dia mengerti definisi dengan sendirinya. Sebagai contoh, seseorang yang tidak tahu apa roti kemudian tidak akan bisa tahu dengan definisinya. Disinilah Ibn Taimiyyah membuat sebuah perbedaan antara konsepsi (taswir) dan perbedaan (tamiz) dan berpihak pada Mutakallimun (scholastic theologians) sebagai penjaga  hal-hal yang benar-benar terkenal dengan perbedaan dan tidak dengan definisi.
viii.    Ketika definisi menjadi kata-kata penjelas, penjelas harus memiliki pengetahuan dari objek yang dijelaskan sebelum mendefinisikannya. sebab itu salah mengatakan konsepsi tentang sesuatu tergantung definisi.
ix.    Konsep existensi sesuatu diperoleh baik  melalui dari luar akal sehat maupun  melalui dari dalam akal sehat, tidak satupun benar-benar membutuhkan definisi. Disinilah Ibn Taimiyyah melakukan observasi bahwa apapun tidak bisa diketahui  melalui fikiran sehat, bisa diketahui melalui kesimpulan sah tapi bukan melalui defisi.
x.    Ahli logika : suatu definisi harus ditolak atas pertolongan pertentangan dan sangkalan. Ibn Taimiyyah membantah pertentangan atau sangkalan adalah mungkin hanya ketika seseorang telah siap membentuk sebuah konsepsi dari objek yang dijelaskan. Ini membuktikan konsep bisa dibentuk dengan tanpa bantuan definisi.
xi.    Pengetahuan tentang hal tertentu mungkin jelas sendiri (self-evident) untuk beberapa hal, tapi diperoleh oleh yang lain. Sebuah contoh, sesuatu yang tidak jelas sendiri untuk beberapa hal mungkin jelas sendiri untuk hal lain yang tidak akan membutuhkan definisi untuk pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga salah mengatakan pengetahuan tergantung pada definisi.

II.    Penolakan kedua dalil para ahli logika, bahwa definisi memberikan pengetahuan konsep, bentuk judul kedua Kitab al-Radd. Ibn Taimiyyah beropini, ahli logika dan teologi scolastic memberi interpretasi yang berbeda tentang definisi. Ahli logika Yunani dan pengikutnya yang muslim maupun non-muslim mengklaim bahwa definisi berisi uraian objek yang dijelaskan, ketika ilmuwan terkemuka berpatokan bahwa definisi bertindak sebagai perbedaan antara objek yang dijelaskan dan yang tidak dijelaskan. Maka, definisi tak bisa memberikan pengetahuan sebuah konsep. Definisi itu menawarkan arti sebenarnya gambaran objek dan memberi pengetahuan konsep, yang telah dibantah oleh Ibn Taimiyyah.
i.    Definisi adalah semata-mata statemen Penjelas (definer). Contoh, ketika manusia didefinisikan sebagai “binatang berakal”, statemen ini bisa benar juga bisa salah. Hal itu semata-mata pernyataan tanpa bukti. Pendengar mungkin mengerti dengan definisi atau tanpa definisi. Dalam kasus sebelumnya, dia tahu itu tanpa pembuktian yang mungkin benar atau tidak, ketika dalam kasus kemudian definisi bertindak tanpa tujuan apapun.
ii.    Kata ahli logika : definisi tidak menolak tanda bukti maupun memerlukan itu.  Berbeda dengan silogisme (Qiyas), definisi bisa ditolak dengan  pertentangan atau sangkalan (kontradiksi). Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menjawab bahwa ketika Penjelas gagal membuktikan dalam mendukung kebenaran definisi, pendengar tidak mengerti tentang objek yang digambarkan dengan hanya sebuah definisi yang bisa benar dan salah.
iii.    Jika konsepsi gambaran objek dicapai dengan definisi, kemudian gambaran itu diperoleh sebelum manusia tahu kebenaran definisi, sejak pengetahuan kebenaran definisi tidak dicapai kecuali setelah manusia tahu gambaran objek.
iv.    Pengetahuan gambaran objek tergantung pada pengetahuan tentang sesuatu (nama) and juga atribut yang para ahli logika penyebutnya atribut penting (essential attribute-as-sifat al-dhatiyyah) dan menamakan sebagai “bagian definisi” “bagian intisari”, dan lain. Jika pendengar tidak tahu bahwa penggambaran objek ditunjukkan dengan atributnya, dia tak mengerti itu. Jika dia tahu bahwa sesuatu itu ditunjukkan dengan kualitas-kualitas, dia baru tahu tanpa definisi apapun.
Kemudian Ibn Taimiyyah membantu 4 argument serupa dan membuktikan bahwa definisi tidak menawarkan makna sejati  gambaran objek.

III.    Proposisi ketiga ahli logika, bahwa Judgment tidak bisa dicapai kecuali dengan alat-alat silogisme, telah disanggah oleh pengarang kita.
i.    Hal tersebut adalah klaim yang tidak pasti dan sebuah proposisi negatif dalam mendukung yang mereka tak mendapatkan bantuan bukti apapun. Menurut Ibn Taimiyyah, self-evident (badihi) dan acquired (nazari) keduanya bentuk pengetahuan yang relatif. Jika beberapa orang gagal mencapai Judgment tanpa bantuan  silogisme, maka tidak berarti tak seorangpun diantara anak-anak cucu Adam mengetahui Judgment tanpa silogisme.
ii.    Pengetahuan tentang sesuatu tidak tergantung pada silogistik tertentu proses pemikiran. Khabar al-Mutawatir (umumnya tradisi yang diterima dan pengalaman) memberikan pengetahuan Judgment, ketika silogisme tak melakukan.  Sebab itu, kesimpulan (natijah) tidak bisa bergantung. Ibn Taimiyyah mengakui, ketika pendapat itu benar, kesimpulan tentu benar juga, tapi ketika dia tidak mengakui bahwa pengetahuan tergantung pada silogisme.
iii.    Menurut ahli logika, proses silogistik memperoleh pengetahuan memerlukan 2 pendapat, tapi Ibn Taimiyyah berkata bahwa sebuah pengetahuan mungkin dicapai dengan satu, dua, tiga ataupun lebih dari beberapa pendapat yang menurut kebutuhan dan keperluan sebuah argumen. Beberapa orang, tambah dia, mungkin tak memerlukan pendapat sama sekali, sejak mereka tahu perihal oleh sumber lain (institusi). Nabi bersabda : “setiap sesuatu yang memabukkan itu anggur (wine), dan dan setiap yang anggur adalah haram,” tidak membutuhkan dukungan proses silogistik pemikiran dalam Islam. Nabi saw tak pernah mengadopsi sebuah proses dalam memperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Setiap muslim mengetahui anggur (Khamr) adalah haram, dan dia tidak perlu 2 pendapat untuk membuktikan semua yang minuman memabukkan itu haram. Figur pertama silogisme, katakan Ibn Taimiyyah, tidak memerlukan kesimpulan yang berputar-putar untuk memperoleh kesimpulan.

Ahli logika mengklaim rasiosinasi atau proses berfikir logis memberikan manfaat pengetahuan sempurna, dan berhadapan dengan pengetahuan “universal”, yang terbaik adalah akal 10 (al-‘uqul al-ashroh) yang tidak menerima pergantian atau perubahan dan dengan jiwa (al-Nafs) mencapai kesempurnaan/ perfeksi. “Universal” dicapai dengan proposisi intelektual sebab itu sangat dibutuhkan. Seperti “semua manusia adalah binatang”, “setiap sesuatu yang ada baik yang perlu atau yang mungkin”, dan semuanya tak menerima pergantian. Klaim tersebut ditentang oleh Ibn Taimiyyah.
i)    Menurut ahli logika, sejak ratiosinasi berhadapan hanya dengan berbagai ilmuwan yang tak punya koneksi dengan dunia fisik, itu tak memberikan pengetahuan keberadaan sesuatu. Kita mungkin mempertimbangkannya sia-sianya semua tujuan praktis.
ii)    Rasiosinasi tidak membantu kita dalam memahami wajib al-wujud (the Neccessary Exixtent), akal 10 (al-‘Uqul al-ashroh), lapisan langit (al-aflak, the heavens), unsur-unsur (the element, ‘anasir arba’ah), Penciptaan sesuatu (muwalladat) binatang, tumbuh-tumbuhan dan kerajaan mineral.
iii)    Ilmu Tuhan menurut ahli logika adalah bukan pengetahuan pencipta atau makhluk (ciptaan). Mereka menyebutnya metaphisik (ilmu ma ba’d al-tabi’ah), namun yang lain menyebutnya sebagai “ilmu tuhan”, pada pokoknya adalah “Universal sederhana” yang meraka bagi dalam “wajib, mungkin,abadi, kebetulan, intisari, kecelakaan, kesemuanya tidak punya tempat dalam dunia phisik.
Kemudian Ibn Taimiyyah melacak asal logika ke ilmu ukur. Dia berpendapat :
iv)    Ahli logika memberi bentuk geometris  argumentasi dalam logika meraka dan menyebutnya  “terminologi (hudud) seperti geometry Euclid agar mentransfer metode ini dari objek praktis ke Mahamengetahui (the intellectual one). Ini menunjukkan kaitan kebangkrutan akal mereka dan ketidakmampuan mereka memperoleh pengetahuan melalui proses praktis. Namun Allah telah memberikan nikmatnya kepada orang-orang muslim pengetahuan lebih dan perspecuas ungkapan dikombinasikan dengan tindakan yang baik dan iman dibandinkan  dengan semua kelas manusia.
Ahli logika mengakui pembagian pengetahuan adalah tidak objektif.  Itu menunjukkan tidak ada eksistensi baik dalam ilmuwan maupun dalam dunia phisik. Ini adalah “pengetahuan universal” yang tidak eksis kecuali dalam imaginasi. Sebab itu tidak apaun dalam pengetahuan tersebut untuk kesempurnaan jiwa.
v)    Kesempurnaan jiwa tergantung pada Ilmu Tuhan dan perbuatan baik (amal salih), dan bukan juga dalam filsafat. Pengetahuan sendiri tidak bisa mengangkat jiwa (soul). Perbuatan baik harus ada, sebab jiwa mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai teoritis dan praktis.  Beribadah kepada Tuhan terdiri dari pengetahuan Tuhan dan cinta kepada-Nya, dan Tuhan mengutus nabi-nabi untuk mengajak manusia menyembah kepada-Nya. Dengan cara yang sama , iman kepada Tuhan tidak berarti pengetahuan Tuhan saja, sebagaimana Jahmite percaya. Hal tersebut terdiri dari pengetahuan dan praktis (amal).
                    
IV.    Proposisi keempat ahli logika, silogisme atau rasiosinasi memberikan pengetahuan Judgment (tasdiqat), telah disanggah oleh Ibn Taimiyyah di bagian keempat dalam bukunya dimana dia mendiskusikan topik secara rinci sekitar 300 lembar. Dalam bagian ini, penulis mencari bukti kesia-siaan silogisme dalam mencapai pengetahuan, dan sering menertawakan ahli logika terkenal dengan kutipan tuduhan meraka ajal (death-bed) pengakuan kesalahan. Disini ia mengulangi dalam sebuah cara baru yang hampir semua telah dia bicarakan dalam bab sebelumnya tentang definisi dan silogisme logika Aristoteles dan membawa dalam beberapa topik yang tidak relevan untuk mendukung argumennya.  Dia mempertimbangkan proses pemikiran silogistik itu tiruan dan yang sia-sia. Dalam opininya, Tuhan telah memberkati manusia dengan “pengetahuan wajib” untuk memahami Penciptanya dan sifat-sifat-Nya. Tapi manusia menemukan, dari awal kali waktu, berbagai ilmu pengetahuan yang mana Syari’ah Islam tidak memerlukan bimbingan manusia.
Silogisme, sebagaimana yang telah dikatakan, tidak memberi kita pengetahuan eksistensi sesuatu meski hal itu terlihat benar.  Ilmu pasti atau Judgment dicapai meski dengan satu pendapat tanpa mengalami proses silogisme. Disini, Ibn Taimiyyah menyalahkan para filosof, tentang berbedaan pergerakan bintang-bintang, yang menyimpulkan bahwa ada 9 lapis langit dan yang kedepan dan kesembilan adalah kursi (Chair) dan ‘arsh (Throne) Tuhan, dengan berurutan. Dia (ibn Taimiyyah) tidak suka terhadap Aritotels dan pengikutnya yang percaya keabadian dunia (qidam al-alam), meskipun demikian kebanyakan dari ahli filsafat menolak terhadap pandangan ini.  Lebih lanjut mereka mengemukakan teori yang berbeda mengenai jangka hidup dunia berdasarkan kesimpulan dari pergerakan lapisan langit. Beberapa pendapat mengatakan dunia ini akan hancur setelah 12 ribu tahun, sementara yang lain mengatakan bahwa dunia akan berlangsung sampai 33 ribu tahun. Ibnu Taimiyyah beranggapan kesimpulan ini tidak beralasan dan mati.
Ibn Taimiyyah mempertimbangkan bahwa Aristoteles tidak punya pengalaman ilmu pengetahuan ketuhanan, dan menuduh ibn Sina telah mencemarkannya dengan pandangan heretikal (pengikut yang menyatakan memelihara pendapat religinya yang bertentangan dengan agamanya) Batiniyah yang diinterpretasikan Islam sebagai Syari’ah berdasarkan prilaku dan kesalahan rasiosinasi. Beberapa pendapat mengatakan Nabi adalah filosof agung, ketika pendapat lain telah lama mengatakan filosof lebih terbesar dibandingkan Nabi. Sufi seperti ibn ‘Arabi, ibn Sab’in, al-Qunawi, Tilimsani, dan lainnya mengikuti pandangan heretikal Batiniyyah dan menggunakan nama bentuk Islam dalam menaimai teori mereka. Beberapa sufi tersebut, ibn Sab’in dan pengikutnya tidak punya ciri antara Islam dan agama lain seperti Kristen dan Judaism. Para pengikut beberapa agama bisa mendekati mereka dan menjadi murid tanpa merubah kepercayaan mereka.
Menurut Ibn Taimiyyah pengetahuan tertentu adalah lebih menyakinkan dari pada pengetahuan universal. Sehingga tak ada manfaat dalam belajar logika induktif  dalam pengetahuan individual menuju pada pengetahuan universal. Lebih dari itu pengetahuan individual didapatkan lebih cepat dari pada pengetahuan universal sering diperoleh (oleh akal sehat atau instuisi) dengan mengalami beberapa proses silogisme. Ibn Taimiyyah beropini dalam kesimpulan silogisme (qiyas) bisa berlanjut menjadi satu bentuk saja. Dan bentuk tersebut memerlukan bentuk Sugro dan Kubro (minor dan major) menarik kesimpulan, karena dia tahu kelas kualitas universal, juga mengatahui kualitas ini yang tersedia dalam setiap individu. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah percaya pengajaran nabi meliputi semua kitab suci dan bukti rasional. Untuk menguatkan pendapatnya Ibn Taimiyyah mengutip sebuah ayat al-Qur’an :



Tetap dalam pendapat konsep eksistensi sejati, Ibn Taimiyyah menambahkan bahwa para filosof membagi pengetahuan benda menjadi 3 kelas : psikis, matematis dan filosofis. Pengetahuan filosofis berhadapan dengan masalah teori-teori  yang berhubungan eksistensi simple universal. Hal tersebut tidak bertujuan dipraktekkan dan hanya sia-sia.
Rasiosinasi, menurut penulis, tidak membuktikan keberadaan pencipta. Universal itu mempunyai ketergantungan eksistensi dari luar. Mereka ada secara intelek,  dan mereka tidak bisa membuktikan keberadaan yang terbatas menjadi dapat dibedakan dari sisa keberadaan. Lebih lanjut, dalam silogisme terdapat sebuah kelengkapan konsepsi dari pertengahan bentuk yang menjaga kita dari kesimpulan logis. Sebab seorang manusia yang mengatahui bahwa anggur / arak itu dilarang, dan setiap yang memabukkan adalah anggur, tentunya telah mengetahui  setiap yang memabukkan adalah dilarang (tanpa membutuhkan pikiran proses silogistik).

Secara keseluruhan argumen ibn Taimiyyah dalam membuktikan peryataan-peryataan tentang silogisme yang tidak memberikan manfaat bagi Judgment baru.

Saatnya membahas pendapat Ibn Taimiyyah yang menolak pendapat-pendapat scholastic philosophers dengan mengerjakan teori atom, tubuh, persamaan badan (tama’thul al-ajsam) dan mendeklarasikan bahwa semua itu adalah inovasi dalam Islam, dan para sarjana telah gagal dalam persetujuan hal tersebut.

Theory of Atom. Teori ini bergantung pada sebagian besar sarjana teologi  meliputi Jahmit, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Sebagian besar penganut teori atom (atomist) berpendapat bahwa tubuh adalah kombinasi atom yang ada dengan sendirinya, dan Tuhan tidak menghancurkannya. Tuhan hanya menghancurkan kecelakaan (a’rad), dinamakan kesatuan (ijtima’), separasi (iftiraq), gerakan (harokah), dan istirahat mereka (sukun). Yang lain berpendapat bahwa atom adalah fenomena : Tuhan menciptakan mereka ex nihilo , dan sekali mereka menuju ke-eksistensi-an maka mereka tidak akan pernah hancur, melalui kecelaan mungkin hancur. Pendapat ini telah dianut Jahmites, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Sebagian mereka percaya teori ini didukung Ijma’ . Ibn Taimiyyah menolak teori ini dalam landasan bahwa terori tersebut adalah inovasi dan tidak ada seorang muslim mengetahhui hal tersebut. Para teolog tidak sepakat, mayoritas mereka menyangkal keberadaan atom dan komposisi tubuh yang berasal dari atom.

Theory of the Body. Ada pendapat sebuah benda yang terbatas atau mempunyai dimensi disebut tubuh, ketika pendapat lain mengatakan tubuh adalah kombinasi dua atom, sedangkan sebagian yang lain mengatakan tubuh adalah kombinasi 4 atom atau sampai 32 atom. Disamping itu, kelas filosof berpegangan bahwa tubuh dibentuk tidak dari atom tapi dari perihal dan bentuk. Meskipun Imam al-Haramain al Juwaini (w. 470/1085), guru imam Ghozali,  meragukan kombinasi perihal dan bentuk, meskipun demikian teori itu dilaporkan dia sendiri  memancarkannya sebagai pendapat yang diterima dengan ijma’.

Theory of similarities bodies. Teori ini populer antar filosof muslim. Pendiri teori ini menyatakan badan itu dalam segala bentuk pada pokoknya mirip, sebab tubuh adalah kombinasi atom yang sama satu sama lainnya. Perbedaan  antara satu tubuh dan lainnya adalah perbedaan kecelakaan. Ibn Taimiyyah menolak teori ini, pertama, dasar tersebut telah disanggah oleh ar-Razi dan Amidi bersama dengan filosof yang lain, kedua,  karena al-Asy’ari juga menolaknya dalam kitab al-Ibanah yang menjadi teori Mu’tazilah, ketiga, karena pendiri teori ini, menurut prinsip Jahmites dan Qodariyah, berpendirian setiap tubuh individu Tuhan memberikan kecelakaan yang ganjil. Menurut mereka spesies tidak bisa mengganti dengan yang lain. Tubuh tidak berubah kecelakaan kepada tubuh yang lain, itu perlu membuktikan perubahan jenis, mereka menjawab bahwa perihal (maddah) semua bagian ciptaan adalah sama. Inilah sifat yang berubah menjadi kesatuan (ijtima’), separasi (iftiroq), gerakan (harakah), dan istirahat (sukun), sementara perihal tinggal tanpa perubahan sama sekali gerak penciptaan. Menurut Ibn Taimiyyah, argumen tersebut hanya merupakan asumsi semata dari para filosof yang hanya mengamati fenomena perubahan benda tanpa ada pengetahuan apapun dari esensi (intisari) yang mereka akui. Filosof tersebut, lanjut ibn Taimiyyah, lebih lanjut menyatakan bahwa semua benda adalah kombinasi dari atom yang terpelihara, dan juga berdasarkan teori ini mereka membaginya dalam 2 kelompok.  Grup pertama : atom dalam sebuah tubuh ditetapkan akan hancur kemudian dibangkitkan kembali, ketika yang lain menyatakan bahwa komponen sebuah tubuh terpisah tapi akan menyatu kembali  dalam dunia yang akan datang. Sayangnya, dihari kemudian harus menjawab pertanyaan. Jika manusia disantap oleh hewan (katakan ikan), kemudian ikan dimakan oleh manusia lain, kemudian bagaimana dia bisa bangkit pada hari kebangkitan ? sebagai balasan, beberapa dari meraka berkata bahwa dalam tubuh manusia ada komponen-komponen yang tidak bisa dihancurkan dan dalam komponen ini tidak ada dari hewan yang telah dimakan oleh manusia kedua. Ibn Taimiyyah memberi objek dan menunjukkan bahwa menurut ilmu pengetahuan (‘uqala’) tidak ada sesuatu pun dalam tubuh manusia yang tidak bisa dihancurkan dan menurut para aslaf (Para penulis terdahulu), fuqaha’ dan ilmuwan umum, tubuh satu (jism) berubah menjadi sesuatu yang lain dengan kehilangan identitas sepenuhnya. Berdasarkan para fuqaha’ mendiskusikan masalah ini apakah sebuah benda tidak murni bisa menjadi murni ketika benda berganti menjadi yang lain; contoh mereka setuju bahwa jika babi jatuh ke tambang garam (salt-mine) dan menjadi garam, itu akan menjadi sah menurut hukum untuk dimakan seorang muslim. Ibn Taimiyyah sampai pada kesimpulan bahwa argumen dalam mendukung teori persamaan tubuh adalah tidak kuat. Ibn Taimiyyah percaya bahwa tubuh adalah berlainan / tidak sama dan dapat bertukar tempat.

Theory of Motion, teori pergerakan. Beberapa filosof Jahmites dan Mu’tazilah mempunyai argumen tentang Origination of Bodies (huduth al-ajsam) dari sejarah nabi Ibrahim, orang yang menolak menyebut bintang, bulan dan matahari sebagai tuhan (rubub). Mereka berpedoman bahwa Ibrahim as tidak menyembah badan surgawi yang sederhana dengan alasan gerakan dan perubahannya (al-harakah wa al intiqal) sesuai yang tercantum dalam al-Qur’an dengan kata uful. Dengan kata lain, mereka menyatakan bahwa gerakan dan pergeseran adalah tanda perbedaan dari asal tubuh. Ibn Taimiyyah menolak teori tersebut dengan alasan berikut :

i)    Tidak ada teori yang dipelihara sarjana Muslim adanya beberapa indikasi bahwa anak cucu nabi Ibrahim pernah berfikir tentang hal tersebut. Mengapa keturunan Ibrahim menyembah tubuh surgawi, mungkin menjadi artibut kepercayaan tahayul meraka (superstitious) bahwa tubuh surgawi akan  membawa mereka (keturunan Ibrahim) keselamatan dan terjaga dari setan (evil). Sebab itu Ibrahim as berkata : “oh umatku, aku tidak membagi dengan kalian, kesalahan yang berhubungan dengan tuhan adalah urusanku dengan Tuhan”.
ii)    Menurut bahasa Arab kata ‘uful berarti pengaturan (matagari, bulan dll) dan dilapisi oleh selubung. Kata tersebut tidak berarti gerakan dan pergeseran sebagaimana yang dipahami para filosof.
iii)    Gerakan dan pergeseran dalam jasad surgawi eksis setiap waktu. Tidak ada alasan  bagi Nabi Ibrahim menganggap asal “gerakan dan pergeseran” hanya saat hilangnya jasad surgawi. Dia bisa mengenali jasad surgawi tersebut sebelum hilang dari langit. Lantaran kesalahan penafsiran, Ibn Sina membuat kesimpulan yang salah yakni "hilang menjadi sebuah kemungkinan dari keberadaan dan setiap keberadaan adalah mungkin untuk menghilang lenyap

Teori atom tak musnah berpegang kepada para filsosof yang sependapat dengan ulama bahwa suatu benda bisa menjadi benda lain dan atom tidak punya eksistensi, hanya sebagai al-jawahir al-aqliyyah (the intellectual atoms) dari roda dugaan semata.

Penyebab utama perbedaan pendapat para ulama, sebagaimana yang diusulkan Ibn Taimiyyah, penemuan mereka tentang suatu terminology samar. Contoh, apa itu atom tak terpisahkan? Nyatalah kemampuan otak manusia sudah gagal mengerti. ini menunjukkan orang terdorong untuk mengerti tidak mempunyai bukti dan bagi meraka yang mengatakan telah membuktikannya sejatinya mereka bersembunyi dibawah penafsiran yang dibuat-buat. Tak seorangpun dari sahabat Nabi dan penerusnya dalam din al-fitrah (agama murni) pernah berkata tentang atam tak terpisahkan. Secara alami, hal itu tak bisa dikatakan bahwa manusia dalam pikirannya terdapat bentuk “tubuh” dan merupakan sebuah rakitan / susunan dari atom. Tak ada orang Arab bisa mengerti tentang matahari, bulan, langit, bukit, udara, flora dan fauna sebagai kombinasi atom. Apakah hal tersebut mungkin mereka bisa mengerti atom tanpa suatu dimensi ? Tradisi, mistik dan ahli hukum tidak pernah memberikan jalan sebagai doktrin.

Theory of the Necessary Cause (Mujib bi al-Dhat)- Ibn Taimiyyah menolak interpretasi filsafat tentang wajibnya penyebab. Dia bilang, jika filosof mengartikan wajibnya penyebab sebagai suatu eksistensi yang tidak ada “keinginan” dan tidak ada “kekuatan”, kemudian keberadaan beruang tak berarti ataupun tak punya makna eksternal, sedikit banyak tentu perlu keberadaan. Ibn Rusdy dan filosof lain membantah sendiri dalam diskusi meraka tentang masalah ini.  Mereka mendalilkan permulaan “penyebab akhir “ atau ‘illat al-ghayah dan kemudian penyebab akhir lain membantu dalam penciptaan (khalq)  yang membutuhkan kemauan (iradah).  Sejak mereka mengintepretasi penyebab akhir sebagai pengetahuan dan pengetahuan sebagai “lebih tahu” (Knower), ini secara keseluruhan menjadi absurd dan berlawanan, sebab kita tahu secara keperluan bahwa kemauan (iradah) tidak identik dengan pengetahuan ataupun pengetahuan dengan serba tahunya. Menurut filosof tersebut (ibn rusdy dkk) ungkapan heterogen hanya punya satu makna ; dengan pengetahuan mereka mengartikan sebagai kekuatan ataupun kemauan (power or volition), dengan atribut mereka mengartikan sifat, kemudian melalui pengetahuan mereka mengartikan “Mahatahu”,  dengan kekuatan mereka mengartikan sebagai Mahakuat, dengan kehendak maha kehendak, dan dengan cinta pecinta.  Berarti menciptakan sesuatu tanpa kemauan dam pilihan, ini tidak mungkin menciptakan dunia ini, sebab mealui (sebagai sebab) membutuhkan sebab itu sendiri dan dunia itu tak tercipta dengan sendirinya (independen).

Theory of Harakat al-falak, Namus, and Mumkin, Ibn Sina dan pengikutnya, dalam percobaan untuk kompromi antara ramalan dan filsafat, menemukan teori pergerakan langit (harakat al-falak). Mereka mengemukakan bahwa langit bergerak dalam ketaatan kepada “sebab pertama” (al-illat al-ula). Dalam kata ilah (dewata/tuhan) bermakna seorang pemimpin yang mana ketaatan langit bergerak, dan filsafat tertinggi mereka adalah bentuk ketaatan pada pemimpin mereka. Dalam maqalat al-Lam, buku I, dalam Metafisika aristoteles memberikan kita beberapa uraian.
Filosof percaya akan Namus. Namus mereka artikan sebagai kerajaan dunia yang dijalankan dengan harapan manusia untuk  pencapaian kebaikan dan menjauhkan dari larangan.  Ada diantara mereka mengakui adanya “ramalan” dikemukakan bahwa semua agama adalah tipe dari Namus yang membawa kepada dunia untuk kebiasaan baik (common good). Ibn Sina adalah salah seorang yang berpendapat seperti ini. Dalam kesepakatan dengan susunan praktek filsafat meraka, disini manusia dipertimbangkan dengan aktualisasi ibadah, pengamalan hukum syariah dan hukum untuk moral, domestik, dan hukum sipil secara berurutan. Ibn Taimiyyah sangat menentang kedua teori harakat al-falak dan Namus, dan mengutuk para filosof sebab kesia-siaan usaha mereka. Dia juga mengatakan bahwa para filosof semua telah jauh dari kebenaran, dan mengambarkan dengan sinis Aristoteles, guru utama meraka, sebagai orang yang paling tidak berpengetahuan (ajhal al-naas), orang yang tidak mengerti apapun tentang tuhan, dia (aristoteles) adalah berfikir tentang sajak/dalil ilmu fisika saja.
Sebelum teori mumkin, ilmuwan scholastik beropini bahwa setiap sesuatu yang mungkin maupun menempati ruang (mutahayyiz) atau eksis dalam sebuah ruang (qa’im bi a;-mutahayyiz). Ibn Sina dan pengikutnya, al-Shahrastani, arrazi dll,  dalam pernyataan keberadaan benda berbeda dari ini, dalil ras manusia, binatang, atau konsep umum lain seperti itu. Menurut Ibn Taimiyyah konsep umum seperti ini ada hanya dalam pikiran. Dia mengamati bahwa manusia menolak beberapa teori saat para filosof mencari bukti sebuah benda yang dimiliki imajinasi atau yang ada dengan sendirinya tanpa dirasa. Lebih lanjut ia menentang bahwa setiap sesuatu yang ada harus bisa dilihat mata atau bisa dilogika/ dijelaskan dengan pengertian.
Sejauh mana Ibn Taimiyyah menghakimi pendapat filosof bahwa tuhan berada diatas kita di surga? Bisakah “arah” diberlakukan bagi Tuhan ?
    Menurut Aristoteles, ke bawah dan ke atas tidak menandakan tempat, tetapi situasi sulit "di mana", sama halnya " kemarin" dan “hari ini” tidak menandakan waktu, tetapi situasi sulit " ketika". Hal ini bukanlah kontradiksi dialektis Ibn Taimiyyah yang memprotes pendapat yang mengatakan Tuhan tidak bisa berada dibeberapa arah, sebab ini adalah menandakan suatu tempat, dan seseorang yang berada disuatu tempat maka dia adalah baru (hadith). Dalam pendapat ini, bahwa Tuhan berada dibeberapa tempat, dengan demikian berarti bahwa Tuhan tinggal dibeberapa tempat dalam alam, semua ini salah, tapi “arah” (direction) meraka maksud dengan hal yang tak nampak (tak ada) diatas alam, maka mereka benar, sebab diatas alam tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan.  Kemudian muncul pertanyaan, apa yang disebut singgasana/ tahta Tuhan dan mengapa manusia mengangkat ke atas tangan ketika berdoa ? Ibn Taimiyyah mengatakan sebabnya begini : bersumberkan al-Qur’an, Tuhan ada di tahta-Nya dan para malaikat mengangkatnya. Para filosof percaya bahwa makna tahta adalah langit ke tujuh (al-falaq al-tasi’), sebab ahli falak/ astronom tidak bisa menemukan apapun diluar itu.  Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa langit ketujuh inilah yang menyebabkan pergerakan langit yang lain yakni langit kedelapan. Langit ketujuh juga meraka sebut sebagai al-ruh (spirit), al-nafs (soul), atau lauful mahfud juga sebagai akal aktif (al-‘uqul al-fa’al). Mereka juga membandingkan langit ketujuh ini dalam relasinya dengan langit yang lain dengan akal dalam diri manusia  dalam relasi dengan tubuh dan aktivitasnya.  Semua teori tersebut, menurut Ibn Taimiyyah, hanyalah dugaan semata tanpa dasar. Dia mengutip yang menjadi kebiasaan dalam mempertahankan kepercayaannya bahwa ‘arsy berada diatas semua langit adalah berada diatas bumi, dan berada dalam sebuah bentuk kubah. Dari pendapat tersebut, maka arsy itu bulat dan menaungi (membungkus) seluruh ciptaan, arsy harus berada diatas seluruh yang ada dari segala arah, dan seorang manusia akan secara alami memandang ke atas ketika meminta kebaikan Tuhan dan tidak menunduk melihat kebawah atau di arah lain. Jika manusia melihat langit dalam berbagai arah kemudian ke atas maka bisa dihukumi sebagai sebuah kebodohan, kemudian bagaimana manusia yang mencari rahmat Tuhan tapi mengarah ke berbagai arah lain lalu mendongak keatas ketika mendongak dia lebih dekat kepada langit dari pada arah lain, kanan, kiri, depan ataupun belakang ? Perkiraan seorang manusia berniat untuk memanjat langit atau apapun yang di atas, dia harus memulai dari arah diatas kepalanya, orang tidak percaya akan pernah menasehati dia untuk memecah bumi dan kemudian pergi mengarah ke bawah sebab itu adalah juga mungkin untuk dia. dengan cara yang sama, ia tidak akan lari ke  kanan atau ke kiri, depan atau belakang dan kemudian memanjat, meskipun itu juga mungkin untuk dia lakukan. Pada saat itu Ibn Taimiyyah nampak dengan polemik keilmuan dan institusi keagamaan yang sebenarnya tidak bisa dilacak pada Islam, panteisme menempati pikiran dalam sejumlah pemikir Islam. Di sini Ibn Taimiyyah menyebut Ibnu ‘Arabi (w.638/1240), Ibn Sab’in (w.667/1269), Ibn al-Farid (w.577/1181), al-Halaj (dieksekusi tahun 309/922), dan beberapa yang lainnya. Panteisme, menurut Ibn Taimiyyah, adalah didasarkan pada dua prinsip salah yang melawan Islam, kristen, dan Judaism dan yang menolak terhadap rasio dan skriptual argumen.
    Beberapa pengikut ajaran pantheisme menyatakan tentang doktrin kebangkitan/ hulul, penyatuan (ittihad), atau doktrin lain yang berhubungan seperti “kesatuan eksistensi” menyatakan bahwa “eksistensi” adalah satu, ada 2 pendapat yang setuju. (i) wajib adanya pencipta dan (ii) kontingen / mungkin dalam penciptaan. Dalam kelompok pantheisme ini Ibn Taimiyyah menugaskan Ibn ‘Arabi, Ibn Sab’in, Ibn al-farid, Tilimsani, dll. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi memberikan ciri eksistensi/ wujud dan pernyataan (thubut) bahwa “substansi” eksis dalam non wujud (adam) independen Tuhan, dan eksistensi Tuhan adalah eksistensi dari substansi dalam diri mereka sendiri: Pencipta (creator) membutuhkan substansi  untuk menjadikan eksistensi mereka, dan ketika substansi membutuhkan terhadap-Nya untuk memperoleh eksistensi mereka yakni eksistensi Tuhan sendiri. Al-Qunawi (w.673/1274) dan pengikutnya membuat suatu perbedaan antara “umum dan partikular/ tertentu” (al-itlaq wa-l ta’yin). Mereka mengemukakan bahwa wajib Satu adalah identik dengan eksistensi benda (sesuatu) dalam umum. Menurut Ibn Taimiyyah hal ini adalah imajinasi yang fantastik, sebat apa yang disebut umum dalam konsepsi harus ada dibatasi dalam suatu individu.
    Ibn Sab’in dan pengikutnya berpedoman bahwa “wajib” dan “mungkin” itu seperti “perihal” dan “format”. Ibn taimiyyah percaya pendapat ini absurd dan berlawanan sendiri. Dalam oponi ini, mengajarkan teori kebangkitan/ rengkarnasi dan kesatuan eksistensi. Pantheisme adalah seseorang yang gagal mendapat pemahaman atribut-atribut ketuhanan disebut al-mubayanah lil makhluqat, berbeda dari benda asa. Mereka tahu bahwa Tuhan eksis dan dan berfikir tentang Dirinya adalah sama sebagaimana eksistensinya, juga seperti seorang manusia memandang sinar matahari dan disebut matahari itu sendiri. Ibn Taimiyyah mengutip pendapat Syaik Junaid Bagdadi “untuk mempercayai kesatuan Tuhan  adalah memisahkan kualitas originasi dari keabadian”.  Dan menekankan bahwa harus aa perbedaan antara pencipta dan penciptaan, dan tidak bisa menjadi satu dan bukan yang sama.
    Menurut Ibn ‘Arabi, non eksistensi adalah sesuatu yang positif yang ada dalam daerah non-wujud. Terus, eksistensi beberapa benda adalah eksistensi Tuhan sendiri; mereka menyatakan dengan esensi karakter yang tetap berlaku dalam ruang hampa, dan menyatu dengan eksistensi Tuhan, yang mengetahui mereka. Abu ‘Uthman al-Shahham, guru al-Jubba’i, yang pertama kali mengemukakan pendapat itu dalam Islam. Dia membantah teori meraka bahwa tidak ada suatu apapun dalam ruang kosong, dan tidak ada perbedaan antara (i) sesuatu yang diketahui dan (ii) sesuatu yang diketahui. Perbedaan dalam opini ini mampu eksis hanya dengan sesuatu yang positif. Teori tersebut adalah absurd menurut Ibn Taimiyyah. Teolog Sunni menyebut orang-orang ini dengan bid’ah. Teori Ibn Arabi pada umumnya berkisar pada masalah ini. Mengenai doktrin Ibn Arabi , ibn Taimiyyah menerangkan bahwa Yahudi, kristen, magian dan penyembah berhala tidak pernah tidak percaya hal semacam itu. Ibn Taimiyyah menyebutnya teori pharanoik yang berpedoman pada Qarmatians.
    Menurut Ibn Taimiyyah, teori Ibn Arabi mengungkapakan 2 benda ketika dianalisa : (i) Pengingkaran eksistensi Tuhan, dan (ii) pengingkaran terhadap penciptaan makhluk. Disamping Ibn Arabi berpendapat bahwa kesucian (wilayah) lebih baik dibandingkan dengan kenabian (nubuwah) dan kesucian tidak pernah sampai pada sebuah kata akhir,  sedangkan ramalan telah berakhir.
    Kemudian Ibn Taimiyyah memberi berbagai macam penjelasan tentang pendapat panteisme Ibn Arabi, dan mendeklarasikan bahwa pendapat tersebut adalah absurd. Dia juga membandingkan ibn Arabi kepada ketulian dan kebisuan, dan mengutip ayat Qur’an, “Tuli, bisu, buta, tidak akan menyelidiki kembali langkah mereka yang salah”. Penghancuran serupa yang dibuat oleh ibn Arabi dan filosof muslim yang lain.
    Kami (author) juga melihat sikap ibn Taimiyyah terhadap teolog, logika dan filsafat. Dia mengutip Imam syafi’i bahwa para teolog akan terpukul dengan sepatu dan ranting palm, tapi ketika menjawab pertanyaan teolog sebaik sebagaimana pertanyaan para filosof, dia tak bisa membantu mengadopsi argumen teolog dan filosof. Dari metode diskusi ini menjelaskan bawa dalam teologi dan filsafat dia juga akan mengemukakan argumen dengan merujuk semua yang ada dalam Qur’an dan sunnah mendeklarasikan yang lainnya sebagai inovasi. Sebagaimana pendapatnya tentang logika Aristoteles, dia menunjukkan jalan kekuatan argumentasi yang luar biasa. Dia tidak ragu dalam independensi pemikiran dan juga bebas dari taqlid buta. Dia bisa disebut sebagai Pendahulu trend modern anti ajaran Aristoteles.











PEMIKIRAN FILOSOFIS AGAMA
IBN TAIMIYYAH
Moh. Faizin Ad Dogglo, S.Sos
(Guru Spiritual PP. Ihyaul Islam Bolo Ujungpangkah Gresik)


Sebuah kehidupan dan aktivitas

Setelah melihat fenomena yang muncul dan perkembangannya pergerakan filsafat dalam  Islam dan kontribusi diciptakan oleh para teolog dan filosof sebelum di pusat kota Baghdad, kita sudah sampai batas inti yang mungkin disebut pre-renaissance periode di dalam sejarah Islam. Dimasa Ibn Taimiyyah, theologi, filosofi, dan jurisprudensi telah membuat kemajuan luar biasa dan menimbulkan aliran pemikiran yang berbeda. Tetapi, sayang, perselisihan politis dan perbedaan doktrin-doktrin melemahkan kesatuan orang-orang Islam dan membuat negara-negara mereka mudah dimangsa oleh invasi bangsa Mongol pada abad ketigabelas / yang ketujuh. Pada kondisi kritis tersebut Imam Ibn Taimiyyah sebagai mujtahid ( salah satu kualifikasi untuk membentuk suatu opini independen dalam Hukum orang Islam) dan disebut orang yang kembali kepada ajaran Islam original sebagaimana adanya dalam  Qur’an dan Sunnah Nabi. Perhatiannya sedikit sekali dalam theologi ( kalam) atau filosofi, dan ia tidak bisa disebut ahli theologi atau ahli filsafat dalam pengertian terminologi yang benar, meskipun demikian dia sendiri bertindak sebagai seorang teolog agung dan filosof agung. Keunggulan Imam Ibn Taimiyyah sebagai seorang pemikir orisinil dan kritikus telah dikenal luas, dan ia biasanya dianggap sebagai Wahhabism, Sanusism, dan pergerakan perubahan lain serupa di Dunia Islam.
    Taqiuddin Abul Abbas Ahmad Ibn ' Abd al Halim, biasanya dikenal sebagai ibn Taimiyyah, dilahirkan di Harran ( Suatu tempat yang terkenal dengan Aliran Hambali. Di sini tinggal Sabeans dan Ahli filsafat yang memuja gambaran dan badan yang surgawi dibanding nama mereka. Nabi Musa dikirim ke orang-orang ini untuk bimbingan mereka) suatu kota besar dekat Damascus, pada hari Senin, 10 Rabi'ul awal  661/ 22 Januari 1263.
    Sepanjang tahun 667/1269 ketika Ibn Taimiyyah mencapai umur tujuh tahun, Mongol menaklukan kota besar Harran, dan bapaknya ' Abd al-Halim mengungsi ke  Damascus beserta semua anggota keluarganya dan menetap disana. Di sini Ibn Taimiyyah menerima pendidikan sempurna di bawah bapaknya seorang sarjana agung dari aliran Hambali. Ia juga belajar kepada ' Ali ibn ' Abd al-Qowi dan menguasai tatabahasa dari Iman Sibawaihi mengenai bahasa Arab. Ia belajar Hadits dengan lebih dari dua ratus Syekh. Adalah penting yang di antara para guru, yang Ibn Taimiyyah menyebutkan di (dalam) Arba'unnya, adalah empat wanita.
    Sukar untuk dikatakan apakah Ibn Taimiyyah terpengaruhi oleh pendahulunya dalam memperkenalkan sosial dan perubahan religius di dalam masyarakat dan sikapnya yang tidak simpatik terhadap teolog, filosof, dan para Sufi. Dilihat dari aktivitasnya menyatakan bahwa ia mengikuti tiada lain kecuali awal Orang Islam alim ( salaf al-salihun) di dalam perumusan rencana perubahannya. Inilah alasan kenapa pergerakannya disebut Pergerakan Salafi. Dengan semboyan, " kembali kepada Qur'an dan Sunnah dari  Nabi." Ia memprotes dengan gigih melawan terhadap segala rupa inovasi ( bid'ah). dia percaya Islam itu dirusak oleh Sufism, panteisme, teolog ( Kalam), filosof, dan oleh semua kepercayaan bertahyul. Ia mengarah pada membersihkan kebudayaan masyarakat dari praktek penghormatan yang tidak selayaknya di pusara para nabi dan orang suci. Selama korsetnya dan Syria dari 692/1292 sampai 705/1305, Ibn Taimiyyah, oleh karena itu, menulis risalah dan buku melawan terhadap Sufis, Mutakallimun, dan ahli filsafat Aristotelian itu. Adalah sepanjang awal bagian dari periode ini yang  ia secara pribadi mengambil bagian peperangan melawan terhadap Karang gigi dan Nusairis. Di tahun 702/1302, ia mengambil bagian dalam pertempuran Shaghab ( suatu tempat dekat Damascus), di mana ia jumpa khalifah Al-Malik al-Nasir, Muhammad Ibn Qawalun, Mamluk Sultan, dan terkemuka lain, dan menghimbau mereka semua untuk bergabung dengan perang salib. Akhirnya tahun 704/1304, ia memimpin suatu angkatan perang melawan terhadap orang Jabal Khusruwan di Syria dan dapat mengalahkan mereka. Karenanya, Ibn Taimiyyah dapat juga disebut seorang Mujahid ( pejuang demi Islam). Di tahun 705/1305, Ibn Taimiyyah menghadapi kritik dari musuhnya dalam pertemuan-pertemuan terbuka di hadapan Wakil Dari Mamluk Sultan, al-Malik al-Nasir, dan mengalahkan mereka dengan argumentasi yang menyakinkan dan jelas. Ia meneruskan di Cairo dan menghadapi suatu munazarah ( debat sah/tentang undang-undang) di mana sarjana India nama Syekh Aafi al-Din al-Hindi ambil bagian penting. Atas usulnyalah Ibn Taimiyyah dipenjarakan dalam  sel di bawah tanah benteng gunung dengan dua saudara laki-lakinya untuk masa satu tahun setengah. Ia juga menderita hukuman penjara pada tempat berbeda karena Fatwanya dan rasa'il melawan terhadap sosial tertentu dan praktek religius; hal ini menggairahkan perasaan amarah dari  sarjana dimasanya, hingga akhirnya ia dipenjara di benteng Damascus bulan Sha'Ban 726/ Juli 1326. Di sini saudara nya Zain al-Din diijinkan untuk tinggal di dalam penjara yang sama untuk memotivasi. Dalam penjara ini, Ibn Taimiyyah menulis pamflet dan buku yang mempertahankan pandangannya, dan konon yang di sini ia menyiapkan suatu komentar pada Qur'an Yang Kudus dalam empatpuluh volume disebut al- bahr al-Muhit. Sebagian dari buku ini jatuh ke tangan musuhnya dan secara penakut merampas buku, tinta dan pena, sehingga ia menulis dengan arang. Setelah sendirian dalam penjara, telah saatnya ia dipanggil Allah pada hari Senin, 20 Dhulqa'dah 728/27 September 1328.
    Ibn Taimiyyah adalah seorang penulis subur. Tidak ada orang bisa memberi suatu bilangan tentu pekerjaan berpikirnya. Ia meninggalkan buku tidak terhitung, religius decitions, surat, dan catatan, kebanyakan ia menyusun ketika berada di penjara. Al-Dhahabi memberi banyaknya buku Ibn Taimiyyah kira-kira lima ratus.
    dalam Rihlahnya, Ibn Battutah mengatakan bahwa dia sendiri seharusnya ada di Damascus ketika hukuman penjara Ibn Taimiyyah berakhir, dan sultan Al-Malik al-Nasir melepaskan Ibn Taimiyyah setelah menyelesaikan al-Bahr al-Muhit, tetapi pada hari Jumat, ketika ia  sedang menyampaikan khotbah Ju'mat diatas mimbar Masjid Agung, ia mengucapkan kata berikut : Sungguh, Allah turun ke langit yang ada diatas kepala  kita dalam bentuk yang sama seperti aku membuat pendaratan ini," dan ia melangkah selangkah dari mimbar. Ini sangat ditentang oleh seorang Faqih ( ahli hukum), tetapi pendukung Ibn Taimiyyah menyerang faqih dan memukulnya dengan sepatu dan tinju, menyebabkan serbannya jatuh dan terlihat pada kepalanya yang terbuat dari sutera shashia ( kopiah). Orang-Orang yang menolak memakai kopiah yang terbuat dari sutera membawa dia ke rumah Qadi Hanbalite, Izz al-Din ibn Muslim, dan meminta agar dia ditahan dan disiksa. Tetapi Maliki dan Syafi'i menyalahi pertimbangan ini, dan membawa kasus kepada pesan Saif al-Din Tankiz, salah satu  terbaik  dan mulia juga alim dari Damascus, menyampaikan perihal ke al-Malik al-Nasir bersama dengan beban biaya lain untuk melawan terhadap Ibn Taimiyyah, seperti keputusannya ( fatwa) bahwa seorang perempuan yang diceraikan oleh  talak tiga dalam  satu ucapan maka dihukumi hanya talak satu dan yang satu itu mengambil perjalanan kepada pusara dari  Nabi mestinya tidak memendekkan doanya. Sultan, berkeyakinan bahwa sudut pandang Ibn Taimiyyah bertentangan dan memerintahkannya untuk dilemparkan ke dalam sel di bawah tanah lagi. Pemikiran Ibn Taimiyyah tidaklah sukses untuk misinya seumur hidupnya, hal itu terlihat jelas pada pemakamannya bahwa ia mencoba pengaruh agung dalam masyarakat.

Karya-karya Ibnu Taimiyyah

Dalam penolakan terhadap penganut logika dan metafisika aritoteles, ibnu Taimiyyah mempunyai beberapa buku independent, diantaranya :
1.    Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin
2.    Bayan Muwaffiqat Sarih al-Ma’qul li sahih al-manqul
3.    Naqd al-Mantiq
4.    Al-Radd ala Falsafat-i Ibn Rushd dipublikasikan diakhir kitab Fasl al-Maqal dan al-Kashf.
5.    Kitab al-‘aql wa al-Naql.

Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin
    Dalam buku ini Ibn Taimiyyah mengungkapkan, menurut logika aritoteles, pengetahuan dibagi menjadi 2 bagian yakini, berdasarkan konsep (tasawwur) dan keadilan (tasdiq), keduanya baik yang menegahi (nazari)  atau perbandingan (badihi). Jelaslah bahwa semua bentuk ilmu pengetahuan tidak bisa langsung atau jelas dengan sendiri. Sama artinya, semua bentuk ilmu pengetahuan tidak bisa menjadi penengah atau seperti yang diperoleh dari kasus itu, untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagai konsep penengah, seseorang akan tergantung kepada consep penengah yang lain sebagai mata rantai yang tak berujung  (daur) atau lingkaran (tasalsul) keduanya secara logika adalah hal yang tidak mungkin (Impossible). Lebih lanjut  ahli logika berpedoman bahwa rantai consept dan judgment adalah penengah yang memerlukan beberapa alat-alat untuk menjangkaunya, dan oleh karena itu, cara berfikir tersebut yang memungkinkan consepts dicapai, disebut hadd ( definition), dan cara berfikir yang sampai pada judgment disebut silogisme (qiyas). Karenanya hadd dan qiyas adalah dua fundamental dasar yang atasnya keseluruhan struktur  logika Arsitoteles berdiri. Untuk menyangkal logika Aristoteles ibn Taimiyyah mencoba merobohkan fundamental dasar tersebut pada empat poin yang tersusun sebagai empat bab utama dalam kitab radd ‘ala al-Mantiqiyyin :
1)    Konsep yang diinginkan tidak bisa diperoleh kecuali atas pertolongan definisi
2)    Definisi memberikan pengetahuan konsep
3)    Judgment yang diinginkan tidak bisa diperoleh kecuali atas pertolongan silogisme
4)    Proses pemikiran logis atau silogisme memberi pengetahuan judgment.

    Perlu dicatat di sini bahwa dalil tersebut pertama dan ketiga adalah hal negatif, sementara kedua  dan keempat adalah pernyataan. Target utama sangkalan Taimiyyah adalah  " definisi" dan " silogisme" logika Aristoteles.
I.    Pertama dasar dalil ahli logika bahwa konsep tidak bisa diperoleh kecuali dengan bantuan definisi yang telah disangkal oleh Ibn Taimiyyah pada alasan-alasan berikut.
i.    Hal itu dalil negatif dimana para ahli logika belum memberikan bukti apapun. Dalil negatif seperti itu tak bisa sebagai dasar pengetahuan positif. Karena itu, dalil awal logika aristoteles adalah berdasarkan pondasi yang salah. Maka, logika tersebut tak bisa diperlakukan sebagai ilmu pengetahuan, menurut ahli logika, hanya menjaga pemahaman orang dari melakukan kesalahan.
ii.    Ketika definisi menjadi kata penjelas, penjelas akan mengerti penggambaran baik dengan bantuan definisi sebelumnya atau  luar dari beberapa definisi. Sekarang, jika dia mengerti penggambaran definisi sebelumnya, dan kata-katanya dalam definisi kedua akan sebaik kata-katanya dalam definisi yang pertama yang akan mendorong ke suatu mata rantai yang tak berujung (daur) atau lingkaran (tasalsul) dalam proses pemikiran, keduanya adalah imposible. Jika dia mengerti sasaran / objek yang digambarkan tanpa definisi apapun, kemudian pernyataan dalam dalil tersebut bahwa “konsep tidak bisa diperoleh kecuali dengan bantual definisi” posisi tertolak.
iii.    Orang-orang dari  cabang pendidikan dan profesi yang berbeda tahu dengan jelas hubungan mereka tanpa ada kesulitan dalam definisi.
iv.    Belum ditemukan definisi universal yang disetujui. Sebagai contoh, tak seorang pun mampu menawarkan lebih jauh beberapa definisi dua bentuk terkenal "manusia" dan "matahari" yang disetujui. Dalam filsafat, theologi, kedokteran, tata bahasa dll., banyak definisi kontra, dan kemudian turun pada kita. Sekarang, para ahli logika berpedoman bahwa konsep adalah tergantung definisi, tapi tak satupun definisi yang disetujui dibuat, ibn Taimiyyah mendeklarasikan tidak ada consep dalam pengertian sesuai istilah telah dibentuk. Karena itu, ahli logika percaya b ahwa Judgment itu tergantung consep (tasawwur), tapi sejak konsep belum diperoleh (pengertian sesuai  istilah), Judgment juga belum datang. Menurut pendapat ibn Taimiyyah,  hasilnya adalah tipe terburuk kesempurnaan.
v.    Ahli logika bilang konsep intisari (mahiyyah) bisa datang dengan definisi yang terdiri dari jenis (jins) dan differentia (fasl). Ahli logika sendiri telah mengakui kemungkinan adanya definisi singkat namun jarang ditemukan. Tapi Ibn Taimiyyah beropini kebenaran makna sesuatu dapat dicapai manusia tanpa definisi, karena itu consep tidak tergantung pada definisi.
vi.    Terhadap ahli logika, definisi yang benar adalah kombinasi Genus (jins) dan differentia (fasl), tetapi hal tersebut simple dan kesatuan, seperti setiap intelektual (‘uqul), tidak ada definisi; mereka tetap memberi gambaran dan pegangan untuk menjadi sebuah konsep. Ini terlihat kadang kala konsep tidak membutuhkan definisi. Jika ini mungkin, kemudian jenis yang lebih dekat dengan persepsi dan juga terlihat bisa dipahami dengan cara yang lebih menyakinkan dan lebih baik dibandingkan tipe pengetahuan yang diperoleh dari kombinasi genus da diffentia.
vii.    Definisi sesuatu terdiri dari beberapa terminologi masing-masing menandai adanya suatu yang menggambarkan arti. Kecuali jika seseorang tahu terminologi dan maksud mereka sebelum tersampaikan, tidak mungkin dia mengerti definisi dengan sendirinya. Sebagai contoh, seseorang yang tidak tahu apa roti kemudian tidak akan bisa tahu dengan definisinya. Disinilah Ibn Taimiyyah membuat sebuah perbedaan antara konsepsi (taswir) dan perbedaan (tamiz) dan berpihak pada Mutakallimun (scholastic theologians) sebagai penjaga  hal-hal yang benar-benar terkenal dengan perbedaan dan tidak dengan definisi.
viii.    Ketika definisi menjadi kata-kata penjelas, penjelas harus memiliki pengetahuan dari objek yang dijelaskan sebelum mendefinisikannya. sebab itu salah mengatakan konsepsi tentang sesuatu tergantung definisi.
ix.    Konsep existensi sesuatu diperoleh baik  melalui dari luar akal sehat maupun  melalui dari dalam akal sehat, tidak satupun benar-benar membutuhkan definisi. Disinilah Ibn Taimiyyah melakukan observasi bahwa apapun tidak bisa diketahui  melalui fikiran sehat, bisa diketahui melalui kesimpulan sah tapi bukan melalui defisi.
x.    Ahli logika : suatu definisi harus ditolak atas pertolongan pertentangan dan sangkalan. Ibn Taimiyyah membantah pertentangan atau sangkalan adalah mungkin hanya ketika seseorang telah siap membentuk sebuah konsepsi dari objek yang dijelaskan. Ini membuktikan konsep bisa dibentuk dengan tanpa bantuan definisi.
xi.    Pengetahuan tentang hal tertentu mungkin jelas sendiri (self-evident) untuk beberapa hal, tapi diperoleh oleh yang lain. Sebuah contoh, sesuatu yang tidak jelas sendiri untuk beberapa hal mungkin jelas sendiri untuk hal lain yang tidak akan membutuhkan definisi untuk pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga salah mengatakan pengetahuan tergantung pada definisi.

II.    Penolakan kedua dalil para ahli logika, bahwa definisi memberikan pengetahuan konsep, bentuk judul kedua Kitab al-Radd. Ibn Taimiyyah beropini, ahli logika dan teologi scolastic memberi interpretasi yang berbeda tentang definisi. Ahli logika Yunani dan pengikutnya yang muslim maupun non-muslim mengklaim bahwa definisi berisi uraian objek yang dijelaskan, ketika ilmuwan terkemuka berpatokan bahwa definisi bertindak sebagai perbedaan antara objek yang dijelaskan dan yang tidak dijelaskan. Maka, definisi tak bisa memberikan pengetahuan sebuah konsep. Definisi itu menawarkan arti sebenarnya gambaran objek dan memberi pengetahuan konsep, yang telah dibantah oleh Ibn Taimiyyah.
i.    Definisi adalah semata-mata statemen Penjelas (definer). Contoh, ketika manusia didefinisikan sebagai “binatang berakal”, statemen ini bisa benar juga bisa salah. Hal itu semata-mata pernyataan tanpa bukti. Pendengar mungkin mengerti dengan definisi atau tanpa definisi. Dalam kasus sebelumnya, dia tahu itu tanpa pembuktian yang mungkin benar atau tidak, ketika dalam kasus kemudian definisi bertindak tanpa tujuan apapun.
ii.    Kata ahli logika : definisi tidak menolak tanda bukti maupun memerlukan itu.  Berbeda dengan silogisme (Qiyas), definisi bisa ditolak dengan  pertentangan atau sangkalan (kontradiksi). Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menjawab bahwa ketika Penjelas gagal membuktikan dalam mendukung kebenaran definisi, pendengar tidak mengerti tentang objek yang digambarkan dengan hanya sebuah definisi yang bisa benar dan salah.
iii.    Jika konsepsi gambaran objek dicapai dengan definisi, kemudian gambaran itu diperoleh sebelum manusia tahu kebenaran definisi, sejak pengetahuan kebenaran definisi tidak dicapai kecuali setelah manusia tahu gambaran objek.
iv.    Pengetahuan gambaran objek tergantung pada pengetahuan tentang sesuatu (nama) and juga atribut yang para ahli logika penyebutnya atribut penting (essential attribute-as-sifat al-dhatiyyah) dan menamakan sebagai “bagian definisi” “bagian intisari”, dan lain. Jika pendengar tidak tahu bahwa penggambaran objek ditunjukkan dengan atributnya, dia tak mengerti itu. Jika dia tahu bahwa sesuatu itu ditunjukkan dengan kualitas-kualitas, dia baru tahu tanpa definisi apapun.
Kemudian Ibn Taimiyyah membantu 4 argument serupa dan membuktikan bahwa definisi tidak menawarkan makna sejati  gambaran objek.

III.    Proposisi ketiga ahli logika, bahwa Judgment tidak bisa dicapai kecuali dengan alat-alat silogisme, telah disanggah oleh pengarang kita.
i.    Hal tersebut adalah klaim yang tidak pasti dan sebuah proposisi negatif dalam mendukung yang mereka tak mendapatkan bantuan bukti apapun. Menurut Ibn Taimiyyah, self-evident (badihi) dan acquired (nazari) keduanya bentuk pengetahuan yang relatif. Jika beberapa orang gagal mencapai Judgment tanpa bantuan  silogisme, maka tidak berarti tak seorangpun diantara anak-anak cucu Adam mengetahui Judgment tanpa silogisme.
ii.    Pengetahuan tentang sesuatu tidak tergantung pada silogistik tertentu proses pemikiran. Khabar al-Mutawatir (umumnya tradisi yang diterima dan pengalaman) memberikan pengetahuan Judgment, ketika silogisme tak melakukan.  Sebab itu, kesimpulan (natijah) tidak bisa bergantung. Ibn Taimiyyah mengakui, ketika pendapat itu benar, kesimpulan tentu benar juga, tapi ketika dia tidak mengakui bahwa pengetahuan tergantung pada silogisme.
iii.    Menurut ahli logika, proses silogistik memperoleh pengetahuan memerlukan 2 pendapat, tapi Ibn Taimiyyah berkata bahwa sebuah pengetahuan mungkin dicapai dengan satu, dua, tiga ataupun lebih dari beberapa pendapat yang menurut kebutuhan dan keperluan sebuah argumen. Beberapa orang, tambah dia, mungkin tak memerlukan pendapat sama sekali, sejak mereka tahu perihal oleh sumber lain (institusi). Nabi bersabda : “setiap sesuatu yang memabukkan itu anggur (wine), dan dan setiap yang anggur adalah haram,” tidak membutuhkan dukungan proses silogistik pemikiran dalam Islam. Nabi saw tak pernah mengadopsi sebuah proses dalam memperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Setiap muslim mengetahui anggur (Khamr) adalah haram, dan dia tidak perlu 2 pendapat untuk membuktikan semua yang minuman memabukkan itu haram. Figur pertama silogisme, katakan Ibn Taimiyyah, tidak memerlukan kesimpulan yang berputar-putar untuk memperoleh kesimpulan.

Ahli logika mengklaim rasiosinasi atau proses berfikir logis memberikan manfaat pengetahuan sempurna, dan berhadapan dengan pengetahuan “universal”, yang terbaik adalah akal 10 (al-‘uqul al-ashroh) yang tidak menerima pergantian atau perubahan dan dengan jiwa (al-Nafs) mencapai kesempurnaan/ perfeksi. “Universal” dicapai dengan proposisi intelektual sebab itu sangat dibutuhkan. Seperti “semua manusia adalah binatang”, “setiap sesuatu yang ada baik yang perlu atau yang mungkin”, dan semuanya tak menerima pergantian. Klaim tersebut ditentang oleh Ibn Taimiyyah.
i)    Menurut ahli logika, sejak ratiosinasi berhadapan hanya dengan berbagai ilmuwan yang tak punya koneksi dengan dunia fisik, itu tak memberikan pengetahuan keberadaan sesuatu. Kita mungkin mempertimbangkannya sia-sianya semua tujuan praktis.
ii)    Rasiosinasi tidak membantu kita dalam memahami wajib al-wujud (the Neccessary Exixtent), akal 10 (al-‘Uqul al-ashroh), lapisan langit (al-aflak, the heavens), unsur-unsur (the element, ‘anasir arba’ah), Penciptaan sesuatu (muwalladat) binatang, tumbuh-tumbuhan dan kerajaan mineral.
iii)    Ilmu Tuhan menurut ahli logika adalah bukan pengetahuan pencipta atau makhluk (ciptaan). Mereka menyebutnya metaphisik (ilmu ma ba’d al-tabi’ah), namun yang lain menyebutnya sebagai “ilmu tuhan”, pada pokoknya adalah “Universal sederhana” yang meraka bagi dalam “wajib, mungkin,abadi, kebetulan, intisari, kecelakaan, kesemuanya tidak punya tempat dalam dunia phisik.
Kemudian Ibn Taimiyyah melacak asal logika ke ilmu ukur. Dia berpendapat :
iv)    Ahli logika memberi bentuk geometris  argumentasi dalam logika meraka dan menyebutnya  “terminologi (hudud) seperti geometry Euclid agar mentransfer metode ini dari objek praktis ke Mahamengetahui (the intellectual one). Ini menunjukkan kaitan kebangkrutan akal mereka dan ketidakmampuan mereka memperoleh pengetahuan melalui proses praktis. Namun Allah telah memberikan nikmatnya kepada orang-orang muslim pengetahuan lebih dan perspecuas ungkapan dikombinasikan dengan tindakan yang baik dan iman dibandinkan  dengan semua kelas manusia.
Ahli logika mengakui pembagian pengetahuan adalah tidak objektif.  Itu menunjukkan tidak ada eksistensi baik dalam ilmuwan maupun dalam dunia phisik. Ini adalah “pengetahuan universal” yang tidak eksis kecuali dalam imaginasi. Sebab itu tidak apaun dalam pengetahuan tersebut untuk kesempurnaan jiwa.
v)    Kesempurnaan jiwa tergantung pada Ilmu Tuhan dan perbuatan baik (amal salih), dan bukan juga dalam filsafat. Pengetahuan sendiri tidak bisa mengangkat jiwa (soul). Perbuatan baik harus ada, sebab jiwa mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai teoritis dan praktis.  Beribadah kepada Tuhan terdiri dari pengetahuan Tuhan dan cinta kepada-Nya, dan Tuhan mengutus nabi-nabi untuk mengajak manusia menyembah kepada-Nya. Dengan cara yang sama , iman kepada Tuhan tidak berarti pengetahuan Tuhan saja, sebagaimana Jahmite percaya. Hal tersebut terdiri dari pengetahuan dan praktis (amal).
                    
IV.    Proposisi keempat ahli logika, silogisme atau rasiosinasi memberikan pengetahuan Judgment (tasdiqat), telah disanggah oleh Ibn Taimiyyah di bagian keempat dalam bukunya dimana dia mendiskusikan topik secara rinci sekitar 300 lembar. Dalam bagian ini, penulis mencari bukti kesia-siaan silogisme dalam mencapai pengetahuan, dan sering menertawakan ahli logika terkenal dengan kutipan tuduhan meraka ajal (death-bed) pengakuan kesalahan. Disini ia mengulangi dalam sebuah cara baru yang hampir semua telah dia bicarakan dalam bab sebelumnya tentang definisi dan silogisme logika Aristoteles dan membawa dalam beberapa topik yang tidak relevan untuk mendukung argumennya.  Dia mempertimbangkan proses pemikiran silogistik itu tiruan dan yang sia-sia. Dalam opininya, Tuhan telah memberkati manusia dengan “pengetahuan wajib” untuk memahami Penciptanya dan sifat-sifat-Nya. Tapi manusia menemukan, dari awal kali waktu, berbagai ilmu pengetahuan yang mana Syari’ah Islam tidak memerlukan bimbingan manusia.
Silogisme, sebagaimana yang telah dikatakan, tidak memberi kita pengetahuan eksistensi sesuatu meski hal itu terlihat benar.  Ilmu pasti atau Judgment dicapai meski dengan satu pendapat tanpa mengalami proses silogisme. Disini, Ibn Taimiyyah menyalahkan para filosof, tentang berbedaan pergerakan bintang-bintang, yang menyimpulkan bahwa ada 9 lapis langit dan yang kedepan dan kesembilan adalah kursi (Chair) dan ‘arsh (Throne) Tuhan, dengan berurutan. Dia (ibn Taimiyyah) tidak suka terhadap Aritotels dan pengikutnya yang percaya keabadian dunia (qidam al-alam), meskipun demikian kebanyakan dari ahli filsafat menolak terhadap pandangan ini.  Lebih lanjut mereka mengemukakan teori yang berbeda mengenai jangka hidup dunia berdasarkan kesimpulan dari pergerakan lapisan langit. Beberapa pendapat mengatakan dunia ini akan hancur setelah 12 ribu tahun, sementara yang lain mengatakan bahwa dunia akan berlangsung sampai 33 ribu tahun. Ibnu Taimiyyah beranggapan kesimpulan ini tidak beralasan dan mati.
Ibn Taimiyyah mempertimbangkan bahwa Aristoteles tidak punya pengalaman ilmu pengetahuan ketuhanan, dan menuduh ibn Sina telah mencemarkannya dengan pandangan heretikal (pengikut yang menyatakan memelihara pendapat religinya yang bertentangan dengan agamanya) Batiniyah yang diinterpretasikan Islam sebagai Syari’ah berdasarkan prilaku dan kesalahan rasiosinasi. Beberapa pendapat mengatakan Nabi adalah filosof agung, ketika pendapat lain telah lama mengatakan filosof lebih terbesar dibandingkan Nabi. Sufi seperti ibn ‘Arabi, ibn Sab’in, al-Qunawi, Tilimsani, dan lainnya mengikuti pandangan heretikal Batiniyyah dan menggunakan nama bentuk Islam dalam menaimai teori mereka. Beberapa sufi tersebut, ibn Sab’in dan pengikutnya tidak punya ciri antara Islam dan agama lain seperti Kristen dan Judaism. Para pengikut beberapa agama bisa mendekati mereka dan menjadi murid tanpa merubah kepercayaan mereka.
Menurut Ibn Taimiyyah pengetahuan tertentu adalah lebih menyakinkan dari pada pengetahuan universal. Sehingga tak ada manfaat dalam belajar logika induktif  dalam pengetahuan individual menuju pada pengetahuan universal. Lebih dari itu pengetahuan individual didapatkan lebih cepat dari pada pengetahuan universal sering diperoleh (oleh akal sehat atau instuisi) dengan mengalami beberapa proses silogisme. Ibn Taimiyyah beropini dalam kesimpulan silogisme (qiyas) bisa berlanjut menjadi satu bentuk saja. Dan bentuk tersebut memerlukan bentuk Sugro dan Kubro (minor dan major) menarik kesimpulan, karena dia tahu kelas kualitas universal, juga mengatahui kualitas ini yang tersedia dalam setiap individu. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah percaya pengajaran nabi meliputi semua kitab suci dan bukti rasional. Untuk menguatkan pendapatnya Ibn Taimiyyah mengutip sebuah ayat al-Qur’an :



Tetap dalam pendapat konsep eksistensi sejati, Ibn Taimiyyah menambahkan bahwa para filosof membagi pengetahuan benda menjadi 3 kelas : psikis, matematis dan filosofis. Pengetahuan filosofis berhadapan dengan masalah teori-teori  yang berhubungan eksistensi simple universal. Hal tersebut tidak bertujuan dipraktekkan dan hanya sia-sia.
Rasiosinasi, menurut penulis, tidak membuktikan keberadaan pencipta. Universal itu mempunyai ketergantungan eksistensi dari luar. Mereka ada secara intelek,  dan mereka tidak bisa membuktikan keberadaan yang terbatas menjadi dapat dibedakan dari sisa keberadaan. Lebih lanjut, dalam silogisme terdapat sebuah kelengkapan konsepsi dari pertengahan bentuk yang menjaga kita dari kesimpulan logis. Sebab seorang manusia yang mengatahui bahwa anggur / arak itu dilarang, dan setiap yang memabukkan adalah anggur, tentunya telah mengetahui  setiap yang memabukkan adalah dilarang (tanpa membutuhkan pikiran proses silogistik).

Secara keseluruhan argumen ibn Taimiyyah dalam membuktikan peryataan-peryataan tentang silogisme yang tidak memberikan manfaat bagi Judgment baru.

Saatnya membahas pendapat Ibn Taimiyyah yang menolak pendapat-pendapat scholastic philosophers dengan mengerjakan teori atom, tubuh, persamaan badan (tama’thul al-ajsam) dan mendeklarasikan bahwa semua itu adalah inovasi dalam Islam, dan para sarjana telah gagal dalam persetujuan hal tersebut.

Theory of Atom. Teori ini bergantung pada sebagian besar sarjana teologi  meliputi Jahmit, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Sebagian besar penganut teori atom (atomist) berpendapat bahwa tubuh adalah kombinasi atom yang ada dengan sendirinya, dan Tuhan tidak menghancurkannya. Tuhan hanya menghancurkan kecelakaan (a’rad), dinamakan kesatuan (ijtima’), separasi (iftiraq), gerakan (harokah), dan istirahat mereka (sukun). Yang lain berpendapat bahwa atom adalah fenomena : Tuhan menciptakan mereka ex nihilo , dan sekali mereka menuju ke-eksistensi-an maka mereka tidak akan pernah hancur, melalui kecelaan mungkin hancur. Pendapat ini telah dianut Jahmites, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Sebagian mereka percaya teori ini didukung Ijma’ . Ibn Taimiyyah menolak teori ini dalam landasan bahwa terori tersebut adalah inovasi dan tidak ada seorang muslim mengetahhui hal tersebut. Para teolog tidak sepakat, mayoritas mereka menyangkal keberadaan atom dan komposisi tubuh yang berasal dari atom.

Theory of the Body. Ada pendapat sebuah benda yang terbatas atau mempunyai dimensi disebut tubuh, ketika pendapat lain mengatakan tubuh adalah kombinasi dua atom, sedangkan sebagian yang lain mengatakan tubuh adalah kombinasi 4 atom atau sampai 32 atom. Disamping itu, kelas filosof berpegangan bahwa tubuh dibentuk tidak dari atom tapi dari perihal dan bentuk. Meskipun Imam al-Haramain al Juwaini (w. 470/1085), guru imam Ghozali,  meragukan kombinasi perihal dan bentuk, meskipun demikian teori itu dilaporkan dia sendiri  memancarkannya sebagai pendapat yang diterima dengan ijma’.

Theory of similarities bodies. Teori ini populer antar filosof muslim. Pendiri teori ini menyatakan badan itu dalam segala bentuk pada pokoknya mirip, sebab tubuh adalah kombinasi atom yang sama satu sama lainnya. Perbedaan  antara satu tubuh dan lainnya adalah perbedaan kecelakaan. Ibn Taimiyyah menolak teori ini, pertama, dasar tersebut telah disanggah oleh ar-Razi dan Amidi bersama dengan filosof yang lain, kedua,  karena al-Asy’ari juga menolaknya dalam kitab al-Ibanah yang menjadi teori Mu’tazilah, ketiga, karena pendiri teori ini, menurut prinsip Jahmites dan Qodariyah, berpendirian setiap tubuh individu Tuhan memberikan kecelakaan yang ganjil. Menurut mereka spesies tidak bisa mengganti dengan yang lain. Tubuh tidak berubah kecelakaan kepada tubuh yang lain, itu perlu membuktikan perubahan jenis, mereka menjawab bahwa perihal (maddah) semua bagian ciptaan adalah sama. Inilah sifat yang berubah menjadi kesatuan (ijtima’), separasi (iftiroq), gerakan (harakah), dan istirahat (sukun), sementara perihal tinggal tanpa perubahan sama sekali gerak penciptaan. Menurut Ibn Taimiyyah, argumen tersebut hanya merupakan asumsi semata dari para filosof yang hanya mengamati fenomena perubahan benda tanpa ada pengetahuan apapun dari esensi (intisari) yang mereka akui. Filosof tersebut, lanjut ibn Taimiyyah, lebih lanjut menyatakan bahwa semua benda adalah kombinasi dari atom yang terpelihara, dan juga berdasarkan teori ini mereka membaginya dalam 2 kelompok.  Grup pertama : atom dalam sebuah tubuh ditetapkan akan hancur kemudian dibangkitkan kembali, ketika yang lain menyatakan bahwa komponen sebuah tubuh terpisah tapi akan menyatu kembali  dalam dunia yang akan datang. Sayangnya, dihari kemudian harus menjawab pertanyaan. Jika manusia disantap oleh hewan (katakan ikan), kemudian ikan dimakan oleh manusia lain, kemudian bagaimana dia bisa bangkit pada hari kebangkitan ? sebagai balasan, beberapa dari meraka berkata bahwa dalam tubuh manusia ada komponen-komponen yang tidak bisa dihancurkan dan dalam komponen ini tidak ada dari hewan yang telah dimakan oleh manusia kedua. Ibn Taimiyyah memberi objek dan menunjukkan bahwa menurut ilmu pengetahuan (‘uqala’) tidak ada sesuatu pun dalam tubuh manusia yang tidak bisa dihancurkan dan menurut para aslaf (Para penulis terdahulu), fuqaha’ dan ilmuwan umum, tubuh satu (jism) berubah menjadi sesuatu yang lain dengan kehilangan identitas sepenuhnya. Berdasarkan para fuqaha’ mendiskusikan masalah ini apakah sebuah benda tidak murni bisa menjadi murni ketika benda berganti menjadi yang lain; contoh mereka setuju bahwa jika babi jatuh ke tambang garam (salt-mine) dan menjadi garam, itu akan menjadi sah menurut hukum untuk dimakan seorang muslim. Ibn Taimiyyah sampai pada kesimpulan bahwa argumen dalam mendukung teori persamaan tubuh adalah tidak kuat. Ibn Taimiyyah percaya bahwa tubuh adalah berlainan / tidak sama dan dapat bertukar tempat.

Theory of Motion, teori pergerakan. Beberapa filosof Jahmites dan Mu’tazilah mempunyai argumen tentang Origination of Bodies (huduth al-ajsam) dari sejarah nabi Ibrahim, orang yang menolak menyebut bintang, bulan dan matahari sebagai tuhan (rubub). Mereka berpedoman bahwa Ibrahim as tidak menyembah badan surgawi yang sederhana dengan alasan gerakan dan perubahannya (al-harakah wa al intiqal) sesuai yang tercantum dalam al-Qur’an dengan kata uful. Dengan kata lain, mereka menyatakan bahwa gerakan dan pergeseran adalah tanda perbedaan dari asal tubuh. Ibn Taimiyyah menolak teori tersebut dengan alasan berikut :

i)    Tidak ada teori yang dipelihara sarjana Muslim adanya beberapa indikasi bahwa anak cucu nabi Ibrahim pernah berfikir tentang hal tersebut. Mengapa keturunan Ibrahim menyembah tubuh surgawi, mungkin menjadi artibut kepercayaan tahayul meraka (superstitious) bahwa tubuh surgawi akan  membawa mereka (keturunan Ibrahim) keselamatan dan terjaga dari setan (evil). Sebab itu Ibrahim as berkata : “oh umatku, aku tidak membagi dengan kalian, kesalahan yang berhubungan dengan tuhan adalah urusanku dengan Tuhan”.
ii)    Menurut bahasa Arab kata ‘uful berarti pengaturan (matagari, bulan dll) dan dilapisi oleh selubung. Kata tersebut tidak berarti gerakan dan pergeseran sebagaimana yang dipahami para filosof.
iii)    Gerakan dan pergeseran dalam jasad surgawi eksis setiap waktu. Tidak ada alasan  bagi Nabi Ibrahim menganggap asal “gerakan dan pergeseran” hanya saat hilangnya jasad surgawi. Dia bisa mengenali jasad surgawi tersebut sebelum hilang dari langit. Lantaran kesalahan penafsiran, Ibn Sina membuat kesimpulan yang salah yakni "hilang menjadi sebuah kemungkinan dari keberadaan dan setiap keberadaan adalah mungkin untuk menghilang lenyap

Teori atom tak musnah berpegang kepada para filsosof yang sependapat dengan ulama bahwa suatu benda bisa menjadi benda lain dan atom tidak punya eksistensi, hanya sebagai al-jawahir al-aqliyyah (the intellectual atoms) dari roda dugaan semata.

Penyebab utama perbedaan pendapat para ulama, sebagaimana yang diusulkan Ibn Taimiyyah, penemuan mereka tentang suatu terminology samar. Contoh, apa itu atom tak terpisahkan? Nyatalah kemampuan otak manusia sudah gagal mengerti. ini menunjukkan orang terdorong untuk mengerti tidak mempunyai bukti dan bagi meraka yang mengatakan telah membuktikannya sejatinya mereka bersembunyi dibawah penafsiran yang dibuat-buat. Tak seorangpun dari sahabat Nabi dan penerusnya dalam din al-fitrah (agama murni) pernah berkata tentang atam tak terpisahkan. Secara alami, hal itu tak bisa dikatakan bahwa manusia dalam pikirannya terdapat bentuk “tubuh” dan merupakan sebuah rakitan / susunan dari atom. Tak ada orang Arab bisa mengerti tentang matahari, bulan, langit, bukit, udara, flora dan fauna sebagai kombinasi atom. Apakah hal tersebut mungkin mereka bisa mengerti atom tanpa suatu dimensi ? Tradisi, mistik dan ahli hukum tidak pernah memberikan jalan sebagai doktrin.

Theory of the Necessary Cause (Mujib bi al-Dhat)- Ibn Taimiyyah menolak interpretasi filsafat tentang wajibnya penyebab. Dia bilang, jika filosof mengartikan wajibnya penyebab sebagai suatu eksistensi yang tidak ada “keinginan” dan tidak ada “kekuatan”, kemudian keberadaan beruang tak berarti ataupun tak punya makna eksternal, sedikit banyak tentu perlu keberadaan. Ibn Rusdy dan filosof lain membantah sendiri dalam diskusi meraka tentang masalah ini.  Mereka mendalilkan permulaan “penyebab akhir “ atau ‘illat al-ghayah dan kemudian penyebab akhir lain membantu dalam penciptaan (khalq)  yang membutuhkan kemauan (iradah).  Sejak mereka mengintepretasi penyebab akhir sebagai pengetahuan dan pengetahuan sebagai “lebih tahu” (Knower), ini secara keseluruhan menjadi absurd dan berlawanan, sebab kita tahu secara keperluan bahwa kemauan (iradah) tidak identik dengan pengetahuan ataupun pengetahuan dengan serba tahunya. Menurut filosof tersebut (ibn rusdy dkk) ungkapan heterogen hanya punya satu makna ; dengan pengetahuan mereka mengartikan sebagai kekuatan ataupun kemauan (power or volition), dengan atribut mereka mengartikan sifat, kemudian melalui pengetahuan mereka mengartikan “Mahatahu”,  dengan kekuatan mereka mengartikan sebagai Mahakuat, dengan kehendak maha kehendak, dan dengan cinta pecinta.  Berarti menciptakan sesuatu tanpa kemauan dam pilihan, ini tidak mungkin menciptakan dunia ini, sebab mealui (sebagai sebab) membutuhkan sebab itu sendiri dan dunia itu tak tercipta dengan sendirinya (independen).

Theory of Harakat al-falak, Namus, and Mumkin, Ibn Sina dan pengikutnya, dalam percobaan untuk kompromi antara ramalan dan filsafat, menemukan teori pergerakan langit (harakat al-falak). Mereka mengemukakan bahwa langit bergerak dalam ketaatan kepada “sebab pertama” (al-illat al-ula). Dalam kata ilah (dewata/tuhan) bermakna seorang pemimpin yang mana ketaatan langit bergerak, dan filsafat tertinggi mereka adalah bentuk ketaatan pada pemimpin mereka. Dalam maqalat al-Lam, buku I, dalam Metafisika aristoteles memberikan kita beberapa uraian.
Filosof percaya akan Namus. Namus mereka artikan sebagai kerajaan dunia yang dijalankan dengan harapan manusia untuk  pencapaian kebaikan dan menjauhkan dari larangan.  Ada diantara mereka mengakui adanya “ramalan” dikemukakan bahwa semua agama adalah tipe dari Namus yang membawa kepada dunia untuk kebiasaan baik (common good). Ibn Sina adalah salah seorang yang berpendapat seperti ini. Dalam kesepakatan dengan susunan praktek filsafat meraka, disini manusia dipertimbangkan dengan aktualisasi ibadah, pengamalan hukum syariah dan hukum untuk moral, domestik, dan hukum sipil secara berurutan. Ibn Taimiyyah sangat menentang kedua teori harakat al-falak dan Namus, dan mengutuk para filosof sebab kesia-siaan usaha mereka. Dia juga mengatakan bahwa para filosof semua telah jauh dari kebenaran, dan mengambarkan dengan sinis Aristoteles, guru utama meraka, sebagai orang yang paling tidak berpengetahuan (ajhal al-naas), orang yang tidak mengerti apapun tentang tuhan, dia (aristoteles) adalah berfikir tentang sajak/dalil ilmu fisika saja.
Sebelum teori mumkin, ilmuwan scholastik beropini bahwa setiap sesuatu yang mungkin maupun menempati ruang (mutahayyiz) atau eksis dalam sebuah ruang (qa’im bi a;-mutahayyiz). Ibn Sina dan pengikutnya, al-Shahrastani, arrazi dll,  dalam pernyataan keberadaan benda berbeda dari ini, dalil ras manusia, binatang, atau konsep umum lain seperti itu. Menurut Ibn Taimiyyah konsep umum seperti ini ada hanya dalam pikiran. Dia mengamati bahwa manusia menolak beberapa teori saat para filosof mencari bukti sebuah benda yang dimiliki imajinasi atau yang ada dengan sendirinya tanpa dirasa. Lebih lanjut ia menentang bahwa setiap sesuatu yang ada harus bisa dilihat mata atau bisa dilogika/ dijelaskan dengan pengertian.
Sejauh mana Ibn Taimiyyah menghakimi pendapat filosof bahwa tuhan berada diatas kita di surga? Bisakah “arah” diberlakukan bagi Tuhan ?
    Menurut Aristoteles, ke bawah dan ke atas tidak menandakan tempat, tetapi situasi sulit "di mana", sama halnya " kemarin" dan “hari ini” tidak menandakan waktu, tetapi situasi sulit " ketika". Hal ini bukanlah kontradiksi dialektis Ibn Taimiyyah yang memprotes pendapat yang mengatakan Tuhan tidak bisa berada dibeberapa arah, sebab ini adalah menandakan suatu tempat, dan seseorang yang berada disuatu tempat maka dia adalah baru (hadith). Dalam pendapat ini, bahwa Tuhan berada dibeberapa tempat, dengan demikian berarti bahwa Tuhan tinggal dibeberapa tempat dalam alam, semua ini salah, tapi “arah” (direction) meraka maksud dengan hal yang tak nampak (tak ada) diatas alam, maka mereka benar, sebab diatas alam tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan.  Kemudian muncul pertanyaan, apa yang disebut singgasana/ tahta Tuhan dan mengapa manusia mengangkat ke atas tangan ketika berdoa ? Ibn Taimiyyah mengatakan sebabnya begini : bersumberkan al-Qur’an, Tuhan ada di tahta-Nya dan para malaikat mengangkatnya. Para filosof percaya bahwa makna tahta adalah langit ke tujuh (al-falaq al-tasi’), sebab ahli falak/ astronom tidak bisa menemukan apapun diluar itu.  Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa langit ketujuh inilah yang menyebabkan pergerakan langit yang lain yakni langit kedelapan. Langit ketujuh juga meraka sebut sebagai al-ruh (spirit), al-nafs (soul), atau lauful mahfud juga sebagai akal aktif (al-‘uqul al-fa’al). Mereka juga membandingkan langit ketujuh ini dalam relasinya dengan langit yang lain dengan akal dalam diri manusia  dalam relasi dengan tubuh dan aktivitasnya.  Semua teori tersebut, menurut Ibn Taimiyyah, hanyalah dugaan semata tanpa dasar. Dia mengutip yang menjadi kebiasaan dalam mempertahankan kepercayaannya bahwa ‘arsy berada diatas semua langit adalah berada diatas bumi, dan berada dalam sebuah bentuk kubah. Dari pendapat tersebut, maka arsy itu bulat dan menaungi (membungkus) seluruh ciptaan, arsy harus berada diatas seluruh yang ada dari segala arah, dan seorang manusia akan secara alami memandang ke atas ketika meminta kebaikan Tuhan dan tidak menunduk melihat kebawah atau di arah lain. Jika manusia melihat langit dalam berbagai arah kemudian ke atas maka bisa dihukumi sebagai sebuah kebodohan, kemudian bagaimana manusia yang mencari rahmat Tuhan tapi mengarah ke berbagai arah lain lalu mendongak keatas ketika mendongak dia lebih dekat kepada langit dari pada arah lain, kanan, kiri, depan ataupun belakang ? Perkiraan seorang manusia berniat untuk memanjat langit atau apapun yang di atas, dia harus memulai dari arah diatas kepalanya, orang tidak percaya akan pernah menasehati dia untuk memecah bumi dan kemudian pergi mengarah ke bawah sebab itu adalah juga mungkin untuk dia. dengan cara yang sama, ia tidak akan lari ke  kanan atau ke kiri, depan atau belakang dan kemudian memanjat, meskipun itu juga mungkin untuk dia lakukan. Pada saat itu Ibn Taimiyyah nampak dengan polemik keilmuan dan institusi keagamaan yang sebenarnya tidak bisa dilacak pada Islam, panteisme menempati pikiran dalam sejumlah pemikir Islam. Di sini Ibn Taimiyyah menyebut Ibnu ‘Arabi (w.638/1240), Ibn Sab’in (w.667/1269), Ibn al-Farid (w.577/1181), al-Halaj (dieksekusi tahun 309/922), dan beberapa yang lainnya. Panteisme, menurut Ibn Taimiyyah, adalah didasarkan pada dua prinsip salah yang melawan Islam, kristen, dan Judaism dan yang menolak terhadap rasio dan skriptual argumen.
    Beberapa pengikut ajaran pantheisme menyatakan tentang doktrin kebangkitan/ hulul, penyatuan (ittihad), atau doktrin lain yang berhubungan seperti “kesatuan eksistensi” menyatakan bahwa “eksistensi” adalah satu, ada 2 pendapat yang setuju. (i) wajib adanya pencipta dan (ii) kontingen / mungkin dalam penciptaan. Dalam kelompok pantheisme ini Ibn Taimiyyah menugaskan Ibn ‘Arabi, Ibn Sab’in, Ibn al-farid, Tilimsani, dll. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi memberikan ciri eksistensi/ wujud dan pernyataan (thubut) bahwa “substansi” eksis dalam non wujud (adam) independen Tuhan, dan eksistensi Tuhan adalah eksistensi dari substansi dalam diri mereka sendiri: Pencipta (creator) membutuhkan substansi  untuk menjadikan eksistensi mereka, dan ketika substansi membutuhkan terhadap-Nya untuk memperoleh eksistensi mereka yakni eksistensi Tuhan sendiri. Al-Qunawi (w.673/1274) dan pengikutnya membuat suatu perbedaan antara “umum dan partikular/ tertentu” (al-itlaq wa-l ta’yin). Mereka mengemukakan bahwa wajib Satu adalah identik dengan eksistensi benda (sesuatu) dalam umum. Menurut Ibn Taimiyyah hal ini adalah imajinasi yang fantastik, sebat apa yang disebut umum dalam konsepsi harus ada dibatasi dalam suatu individu.
    Ibn Sab’in dan pengikutnya berpedoman bahwa “wajib” dan “mungkin” itu seperti “perihal” dan “format”. Ibn taimiyyah percaya pendapat ini absurd dan berlawanan sendiri. Dalam oponi ini, mengajarkan teori kebangkitan/ rengkarnasi dan kesatuan eksistensi. Pantheisme adalah seseorang yang gagal mendapat pemahaman atribut-atribut ketuhanan disebut al-mubayanah lil makhluqat, berbeda dari benda asa. Mereka tahu bahwa Tuhan eksis dan dan berfikir tentang Dirinya adalah sama sebagaimana eksistensinya, juga seperti seorang manusia memandang sinar matahari dan disebut matahari itu sendiri. Ibn Taimiyyah mengutip pendapat Syaik Junaid Bagdadi “untuk mempercayai kesatuan Tuhan  adalah memisahkan kualitas originasi dari keabadian”.  Dan menekankan bahwa harus aa perbedaan antara pencipta dan penciptaan, dan tidak bisa menjadi satu dan bukan yang sama.
    Menurut Ibn ‘Arabi, non eksistensi adalah sesuatu yang positif yang ada dalam daerah non-wujud. Terus, eksistensi beberapa benda adalah eksistensi Tuhan sendiri; mereka menyatakan dengan esensi karakter yang tetap berlaku dalam ruang hampa, dan menyatu dengan eksistensi Tuhan, yang mengetahui mereka. Abu ‘Uthman al-Shahham, guru al-Jubba’i, yang pertama kali mengemukakan pendapat itu dalam Islam. Dia membantah teori meraka bahwa tidak ada suatu apapun dalam ruang kosong, dan tidak ada perbedaan antara (i) sesuatu yang diketahui dan (ii) sesuatu yang diketahui. Perbedaan dalam opini ini mampu eksis hanya dengan sesuatu yang positif. Teori tersebut adalah absurd menurut Ibn Taimiyyah. Teolog Sunni menyebut orang-orang ini dengan bid’ah. Teori Ibn Arabi pada umumnya berkisar pada masalah ini. Mengenai doktrin Ibn Arabi , ibn Taimiyyah menerangkan bahwa Yahudi, kristen, magian dan penyembah berhala tidak pernah tidak percaya hal semacam itu. Ibn Taimiyyah menyebutnya teori pharanoik yang berpedoman pada Qarmatians.
    Menurut Ibn Taimiyyah, teori Ibn Arabi mengungkapakan 2 benda ketika dianalisa : (i) Pengingkaran eksistensi Tuhan, dan (ii) pengingkaran terhadap penciptaan makhluk. Disamping Ibn Arabi berpendapat bahwa kesucian (wilayah) lebih baik dibandingkan dengan kenabian (nubuwah) dan kesucian tidak pernah sampai pada sebuah kata akhir,  sedangkan ramalan telah berakhir.
    Kemudian Ibn Taimiyyah memberi berbagai macam penjelasan tentang pendapat panteisme Ibn Arabi, dan mendeklarasikan bahwa pendapat tersebut adalah absurd. Dia juga membandingkan ibn Arabi kepada ketulian dan kebisuan, dan mengutip ayat Qur’an, “Tuli, bisu, buta, tidak akan menyelidiki kembali langkah mereka yang salah”. Penghancuran serupa yang dibuat oleh ibn Arabi dan filosof muslim yang lain.
    Kami (author) juga melihat sikap ibn Taimiyyah terhadap teolog, logika dan filsafat. Dia mengutip Imam syafi’i bahwa para teolog akan terpukul dengan sepatu dan ranting palm, tapi ketika menjawab pertanyaan teolog sebaik sebagaimana pertanyaan para filosof, dia tak bisa membantu mengadopsi argumen teolog dan filosof. Dari metode diskusi ini menjelaskan bawa dalam teologi dan filsafat dia juga akan mengemukakan argumen dengan merujuk semua yang ada dalam Qur’an dan sunnah mendeklarasikan yang lainnya sebagai inovasi. Sebagaimana pendapatnya tentang logika Aristoteles, dia menunjukkan jalan kekuatan argumentasi yang luar biasa. Dia tidak ragu dalam independensi pemikiran dan juga bebas dari taqlid buta. Dia bisa disebut sebagai Pendahulu trend modern anti ajaran Aristoteles.











Kecerdasan Spiritual

KECERDASAN SPIRITUAL
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Hakimuddin Humam, S.Pd.I
(Guru PP. Ihyaul Islam Bolo Ujungpangkah Gresik)

Dalam pandangan Islam ketinggian tingkat spiritual tidak semata-mata dilihat dari proses pemaknaan, melainkan terdapat suatu proses yang terus menerus yang disebut sebagai proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pengendalian hawa nafsu (mujahadah). Tujuan akhirnya atau puncak spiritualitasnya adalah keridhaan dan cinta ilahi untuk dapat ma’rifat kepada Allah.  Dengan kajian ini peneliti lebih berharap bahwa kecerdasan spiritual dapat lebih mampu memberi kontribusi dalam kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian  sebagai berikut: (1) Bagimanakah pemikiran  Danah Zohar dan Ian Marshall tentang kecerdasan spiritual? (2) Bagaimana konsep kecerdasan spiritual  Danah Zohar dan Ian Marshall ditinjau dari perspektif pendidikan agama  Islam?
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang  kecerdasan spiritual dalam perspektif Islam. (2) Mendeskripsikan konsep kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshall ditinjau dari perspektif pendidikan agama Islam. Kegunaan penelitian ini adalah (1) Temuan berupa deskripsi pokok-pokok pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang  kecerdasan spiritual dalam perspektif Islam merupakan upaya selektif terhadap konsep kecerdasan spiritual, terutama jika dipraktikkan dalam kehidupan beragama.  (2) Temuan berupa deskripsikan konsep kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshall ditinjau dari perspektif pendidikan agama Islam akan memiliki kontribusi bagi pemerhati kependidikan Islam  dalam kegiatan merancang kegiatan pembelajaran  agama Islam agar tidak sebatas pengetahuan verbal dan kognitif, tetapi lebih mengarah kepada pengayaan pengalaman ruhaniyah.
Penelitian ini didasari oleh teori  filosofis Islam tentang manusia. Visi fiolosofis tersebut adalah manusia adalah makhluk Allah yang memiliki potensi spiritual. Al-Qur’an menggambarkan struktur manusia yang terdiri dari : ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs) dan jasad atau tubuh (al-jism). Dengan struktur yang demikian itu manusia mempunyai potensi-potensi spiritual untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya, melalui peningkatan dan penyempurnaan.
Metode Penelitian dijalankan dengan pendekatan kulitatif. Penelitian ini tergolong juga penelitian leteratur sebab sumber datanya dari bahan pustaka. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitik.
 Dari analisis yang telah dilakukan diperoleh simpulan. (1) Pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshal tentang kecerdasan spiritual  pada dasarnya adalah proses penyingkapan hakikat manusia, khususnya  dalam aspek immaterialnya atau ruhaniahnya. Dimensi ruhaniyah inilah yang seringkali membuat bingung untuk dipahami karena rancunya istilah-istilah yang digunakan. Hakikat manusia pada dasarnya adalah jiwanya (an-nafs) yang memiliki berbagai potensi yang tersebut dalam berbagai istilah,yaitu al-‘aql, al-qalb, as-sadr, al-fu’ad, al-lubb. Jiwalah yang menjadi target pendidikan, sehingga ia tidak hancur oleh kematian, karena ia akan memasuki dunia lain untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia. Al-Nafs manusia berada pada keadaan ‘ di antara’, yaitu diantara ar-ruh yang berfungsi sebagai utusan Allah dalam diri manusia dan al-jism, sehingga ia merupakan manifestasi dari dua entitas tersebut. Untuk dapat menjalankan misi yang telah ditetapkan Allah kepadanya, an-nafs harus ditrasformasikan keatas agar kembali dekat dengan Allah. Dari transformasi inilah muncul berbagai macam relasi yang menimbulkan kecerdasan. Kecerdasan ini bukan di otak, melainkan kemampuan yang dimiliki oleh jiwa yang telah ditransformasi otak hanya merupakan aparatus semata. Hakikat kecerdasan pada dasarnya adalah manifestasi dari transformasi an-nafs. (2) Konsep kecerdasan spiritual didasarkan pada pandangan Danah Zohar dan Ian Marshall dalam perspektif pendidikan Islam menyebutkan bahwa spiritualitas  yang dikonsepkannya bukan masuk wilayah immaterial (alam al-malakut) tetapi masih terkait pada aspek material, yaitu alam al-khalq.   Dalam perspektif pendidikan  Islam kecerdasan merupakan produk dari transformasi al-nafs (jiwa) dari satu tingkat ke tingkat lainnya  baik menarik maupun menurun, karena jiwa adalah subyek yang sadar dan berpengetahuan, sedangkan jasad dengan seluruh organnya adalah kendaraan atau aparatus jiwa semata. Al-Nafs yang menaik mendekati Tuhannya, sedangkan yang turun akan mengalami kejatuhan karena lebih mendekati jasad yang mati. Demikian halnya dengan kecerdasan spiritual, sebagai kecerdasan yang melalui proses psikologis ketiga (tersier), ia dapat dipadankan dengan transformasi jiwa ketika berada pada level ketiga, yaitu level al-nafs al mulhamah yang berada di latifah al qalb. Kecerdasan spiritual hampir mendekati dengan kecerdasan al-qalb. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah landasannya masing-masing. Spiritualitas Islam berlandaskan pada entitas al-nafs yang immaterial tetapi menyatu dengan manusia.